Ikhbar.com: Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan pentingnya etika dalam menyampaikan maupun menanggapi kritik terhadap kebijakan publik. Kritik, menurut MUI, merupakan bagian dari aspirasi masyarakat yang dijamin konstitusi, namun harus disalurkan secara santun tanpa menimbulkan kerusakan atau korban jiwa.
Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud, menyampaikan bahwa kritik adalah kewajiban moral masyarakat untuk meluruskan kebijakan yang dianggap kurang tepat.
“Kita menyampaikan kritik-kritik tetap harus. Kita meluruskan yang menurut kita belum lurus ya juga harus,” ujarnya dikutip dari laman MUI pada Rabu, 3 September 2025.
Baca: MUI dan Tokoh Lintas Agama Deklarasikan 9 Sikap Jaga Kondusivitas
Etika kritik
Kiai arsudi menjelaskan, ada tiga pedoman utama dalam menyampaikan kritik terhadap pemerintah maupun pembuat kebijakan:
1. Mendengar suara rakyat.
Menurutnya, pemerintah wajib membuka ruang bagi kritik dan menjadikannya sebagai masukan dari masyarakat.
ينبغي للسلطان أن يستمع الى شكوى الرعية
“Seharusnya seorang pemimpin mendengarkan keluhan rakyatnya.”
2. Memperhatikan kondisi sosial-ekonomi.
Kebijakan harus dirumuskan dengan mempertimbangkan keadaan nyata masyarakat, baik aspek ekonomi, sosial, maupun hubungan antar pihak terkait.
ويتفقد احوالهم
“Dan memperhatikan keadaan mereka.”
3. Bertindak adil.
Kritik harus diarahkan agar kebijakan berjalan secara adil dan proporsional, terutama dalam mewujudkan keadilan ekonomi serta sosial.
ويعمل بمقتض العدل
“Dan bertindak sesuai dengan tuntutan keadilan.”
Perlindungan masyarakat
Kiai Marsudi menegaskan, tujuan utama kepemimpinan adalah menjaga keselamatan masyarakat. Perlindungan itu mencakup keamanan terhadap harta benda, jiwa rakyat, serta kehormatan baik masyarakat maupun aparat.
“Jangan sampai ke depan ada korban-korban lagi dan yang terpenting adalah menjaga kehormatannya. Kehormatan rakyat yang menuntut menyampaikan pendapat, tapi juga kehormatan yang menjaga keamanan,” jelasnya.