Ikhbar.com: Di banyak tempat, pesantren masih identik dengan pengajaran kitab kuning, tradisi keilmuan klasik, dan kehidupan asrama yang sederhana. Namun, sejumlah pesantren di Indonesia bergerak lebih jauh. Mereka menjadikan isu lingkungan sebagai bagian dari kurikulum hidup, dipelajari, dipraktikkan, dan dibentuk menjadi kesadaran bersama.
Pendekatan ini hadir sebagai respons atas masalah ekologis yang makin terasa, mulai dari penurunan kualitas tanah, krisis air, hingga sampah plastik yang menumpuk di desa maupun kota.
Lima pesantren berikut menunjukkan bahwa pendidikan agama dapat berjalan seiring dengan kepedulian ekologis. Di tangan para pengasuhnya, gerakan lingkungan tumbuh kuat dari ruang-ruang belajar para santri.
Baca: Bukan Gagap Teknologi, Ini Nilai Jual Pesantren yang Penting Diadaptasi
1. Pesantren Nurul Haramain Narmada, Lombok Barat
Didirikan TGH Hasanain Juaini pada 1991, Pesantren Nurul Haramain dikenal sebagai pelopor pendidikan agama berbasis ekologi. Kiprah besarnya membuat TGH Hasanain meraih Ramon Magsaysay Award (2011) dan penghargaan Tokoh Republika (2015).
Konsep “kitab hijau” dan “kitab biru” menjadi ciri khas pesantren ini. Kitab hijau memuat dalil-dalil terkait penghijauan, sementara kitab biru menekankan etika pengelolaan air dan sungai. Santri mengkaji teks keagamaan sambil memahami dasar syar’i dalam merawat alam.

Pesantren ini juga mengembangkan unit usaha seperti roti, transportasi, laundry, dan minimarket, seluruhnya dikelola santri. Pengelolaan sampah dilakukan secara mandiri, dilengkapi pembibitan jati, trembesi, mahoni, ketapang, dan pepaya yang dibagikan gratis kepada warga sekitar.
Baca: Menag Ungkap Beda Cara Belajar di Sekolah dan Pesantren
2. Pesantren Rubat Mbalong Ell Firdaus, Cilacap
Didirikan pada 2009 oleh KH Muhammad Achmad Hasan Mas’ud atau Gus Hasan, pesantren ini menarik banyak santri karena konsistensi aktivitas ekologinya sejak awal berdiri.
Rubat Mbalong membudidayakan black soldier fly (maggot) untuk mengolah sampah organik. Mereka juga memproduksi tepung mocaf berbahan singkong yang dibeli langsung dari petani sekitar sehingga aktivitas ekonominya ikut menguatkan masyarakat.

Budidaya sayuran, lele, gabus, serta ternak seperti sapi, kelinci, dan lebah madu berjalan berdampingan. Pesantren ini bahkan membentuk Badan Usaha Milik Pesantren (BUMP) berbadan hukum agar pemasaran produk lebih tertata dan profesional.
Baca: Merawat Akar Pesantren
3. Pesantren Ath Thaariq, Garut
Pesantren ekologi ini lahir dari pengalaman pribadi pendirinya, Ny. Nissa Saadah Waragadipura, yang pernah mengalami masalah kesehatan akibat konsumsi pangan yang tidak sehat. Dari pengalaman itu muncul gagasan bahwa pendidikan agama perlu bersentuhan dengan pangan yang baik, tanah yang terawat, dan usaha yang adil.
Ath Thaariq mengelola sawah dan kebun sendiri sehingga kebutuhan pangan santri terpenuhi tanpa bergantung pada pasar. Hasil panen diolah menjadi produk berbahan cabai, tomat, serta berbagai herbal untuk pengobatan. Pesantren ini juga memiliki perpustakaan benih sebagai pusat pengetahuan.

Keunikan lain, seluruh santri dibebaskan dari biaya pendidikan. Mereka bahkan kerap membawa pulang hasil bumi sebagai bekal untuk keluarga di kampung.
4. Pesantren Annuqayah, Sumenep
Sebagai salah satu pesantren tertua di Madura, berdiri sejak 1887, Annuqayah dikenal progresif dalam isu lingkungan. Mereka menerapkan aturan ketat terkait penggunaan plastik. Santri wajib menjalani “tirakat plastik”, tidak diperkenankan memakai air mineral kemasan dan harus membawa gelas sendiri. Makanan pun dilarang dibungkus plastik.
Annuqayah juga memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai sumber energi alternatif. Larangan penggunaan plastik dipandang sebagai bagian dari etika, bukan sekadar aturan teknis.

Salah satu pengasuh Annuqayah, Kiai M. Faizi, menegaskan bahwa menambah sampah plastik berarti ikut menyumbang kerusakan bumi, sedangkan menguranginya merupakan amal yang membawa kebaikan.
Baca: Mengapa Pesantren Perlu Terhubung dengan Jaringan Global?
5. Pesantren Ekologi Al-Mizan Wanajaya
Didirikan Dr. KH Maman Imanulhaq, Al-Mizan memadukan nilai keislaman, budaya lokal, dan ekologi dalam satu sistem pendidikan. Pola dakwahnya bersifat menyeluruh: merawat bumi, memperkuat tradisi, dan membangun karakter sosial santri.
Al-Mizan berpegang pada prinsip klasik NU al-muhafazhah ‘ala al-qadim as-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah atau menjaga tradisi yang baik sembari mengambil hal baru yang lebih bermanfaat. Programnya mencakup agroekologi, kesenian tradisional, hingga pendidikan masyarakat.

Menko PMK, KH Abdul Muhaimin Iskandar, pernah menekankan bahwa Al-Mizan mendorong disiplin personal sebagai pintu masuk kesadaran ekologis. Merawat bumi dimulai dari merawat diri. Gagasan ini mendapat dukungan luas dari berbagai tokoh nasional.