Ikhbar.com: CEO PT Ikhbar Metamesta Indonesia (Ikhbar.com), KH Sobih Adnan, menekankan pentingnya sikap skeptis atau tidak mudah percaya, bagi generasi muda dalam menghadapi derasnya arus informasi digital.
Demikian ia sampaikan saat memberikan sambutan pada penyambutan mahasiswa Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) dari Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) Universitas Islam Negeri (UIN) Siber Syekh Nurjati Cirebon di Kantor Redaksi Ikhbar.com, Kompleks Pondok Pesantren Ketitang, Cirebon, Kamis, 4 September 2025.
Dalam arahannya, Kiai Sobih menjelaskan skeptis bukan berarti sinis atau menolak mentah-mentah informasi, melainkan kemampuan menunda percaya sampai ada alasan yang cukup. Keterampilan ini, menurutnya, menjadi kunci menjaga kewarasan di tengah banjir informasi yang setiap hari membombardir masyarakat, terutama anak muda.
Baca: Ponpes Ketitang Tekankan Pentingnya Ilmu Tafsir bagi Mahasiswa PPL UIN Cirebon
“Skeptis itu rem logika. Kita menahan diri untuk tidak langsung percaya, tetapi menunggu bukti, menimbang sumber, dan memastikan kebenarannya. Tanpa itu, mudah sekali kita terseret arus hoaks, manipulasi, atau sekadar opini kosong,” ujarnya.
Berpengalaman lebih dari sepuluh tahun di dunia jurnalistik, Kiai Sobih menegaskan skeptis adalah fondasi profesi kewartawanan. Seorang jurnalis, kata dia, harus terbiasa memfilter klaim, memisahkan suara dari fakta, hingga mengurangi bias pribadi dalam pemberitaan.
“Berita yang kuat lahir dari skeptisisme. Setiap klaim diuji, diverifikasi silang, dan dibandingkan dengan data lain. Wartawan tidak boleh hanya menulis karena narasumber bicara, tapi harus memastikan konteks dan buktinya,” tuturnya.
Ia menambahkan, sikap skeptis juga bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang skeptis terbiasa berpikir jernih, lebih tahan terhadap manipulasi, dan tidak mudah panik oleh rumor.
“Kalau ada kabar mengejutkan, orang skeptis akan menunda reaksi sampai ada data memadai. Itu menjaga kita tetap waras,” imbuhnya.
Dalam dunia kerja, sikap ini juga dinilai penting. Menurutnya, keputusan tidak boleh hanya didasarkan pada opini atau perasaan kolektif, melainkan pada data yang terukur.
“Dalam rapat kerja misalnya, skeptis itu memotong basa-basi. Orang berani tanya: buktinya apa, datanya di mana. Ini membuat keputusan lebih tepat,” jelasnya.
Ia mengingatkan, tanpa sikap skeptis, kerugian bisa sangat mahal. Banyak masyarakat menjadi korban investasi bodong, judi onlne, hingga obat-obatan tanpa izin karena mudah percaya pada klaim menyesatkan.
“Lihat saja kasus investasi bodong atau trading semu. Banyak yang percaya karena ada testimoni glamor, padahal legalitasnya tidak ada. Ujungnya, tabungan hidup hilang. Itu akibat kurang skeptis,” ujarnya.
Arus hoaks kesehatan, lowongan kerja palsu, hingga panic buying yang dipicu rumor di media sosial, lanjutnya, juga bukti nyata mahalnya kerugian ketika masyarakat abai terhadap sikap skeptis.
Ia menyarankan sikap skeptis bisa dipraktikkan secara sederhana, misalnya dengan memeriksa siapa yang berbicara, apa buktinya, membandingkan minimal dua sumber independen, serta menunda menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya.
Kiai Sobih menegaskan skeptis bukan berarti menolak terus-menerus, melainkan menunda keputusan sampai bukti cukup.
“Kita harus tegas pada klaim, tapi santun pada orang. Remnya dipakai ketika perlu, dan jalan terus ketika datanya sudah jelas,” pungkasnya.