Menjaga Kepak Sayap Keseimbangan Pesantren

“Ada ilmu, ada amal. Ada doa, ada ikhtiar. Ada Makkah, ada Madinah. Ada Ketuhanan, ada nubuwah (kenabian),” katanya.
Ilustrasi sayap dakwah. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Sikap moderat menjadi karakter yang mengakar di lingkungan pesantren. Nilai ini hadir dalam cara santri belajar, bimbingan kiai, dan cara pesantren membaca perubahan sosial.

Moderasi bertumpu pada satu prinsip utama yang diwariskan turun-temurun, yakni keseimbangan. Dalam tradisi Islam, keseimbangan dipahami sebagai fondasi hidup yang menjaga seseorang dari kecenderungan ekstrem.

Dalam khazanah keagamaan, prinsip itu dikenal sebagai “al-mīzān”. Istilah ini tidak hanya merujuk pada timbangan fisik, tetapi menjadi simbol keteraturan, keadilan, serta sikap yang proporsional dalam berbagai urusan. Di sejumlah pesantren, nilai tersebut hadir dalam kurikulum, tradisi zikir, dan cara santri merespons dinamika sosial.

Namun, di Pondok Pesantren Al-Mizan Majalengka, Jawa Barat, prinsip tersebut menjadi titik tumpu seluruh kegiatan, mulai dari penamaan resmi lembaga, cara berpikir, sikap sehari-hari, hingga sebagai cara membaca realitas.

“Pertama, nama Al-Mizan itu sejatinya sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua, yaitu singkatan dari Mimi Umi Kulsum dan Qasim Fauzan. Kemudian, kata Al-Mizan yang bisa dimaknai sebagai keseimbangan itu juga terus kami eksplorasi sebagai dasar dan prinsip pengajaran kepada para santri,” ungkap Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan, Dr. KH Maman Imanulhaq, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Menapaki Suluk Al-Mizan Kiai Maman” di Ikhbar TV, dikutip pada Senin, 24 November 2025.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan, Dr. KH Maman Imanulhaq (kanan), saat menjadi pembicara dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Menapaki Suluk Al-Mizan Kiai Maman” di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Baca: Bukan Gagap Teknologi, Ini Nilai Jual Pesantren yang Penting Diadaptasi

Sosok yang karib disapa Kiai Maman itu menautkan nama tersebut dengan ajaran Al-Qur’an tentang timbangan sebagai penanda keseimbangan, merujuk QS. Ar-Rahman ayat 8–9:

أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ • وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ

“Agar kamu tidak melampaui batas dalam timbangan itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan itu.”

Dengan dasar tersebut, Kiai Maman membangun keyakinan bahwa “al-mīzān” harus dihidupi. Keseimbangan menjadi pedoman yang menuntun santri menghadapi kehidupan yang kian cepat dan sarat tantangan.

“Para ulama dulu biasa membuat aforisme tentang burung dan kedua sayapnya sebagai nasihat keseimbangan. Misalnya, Syekh Fariduddin Attar, pengarang Tadzkirat al-Auliya, dan sebagainya,” kata sosok yang juga mengemban amanat sebagai anggota DPR RI itu.

Baca: Mengapa Pesantren Perlu Terhubung dengan Jaringan Global?

Analogi sayap

Analogi burung menjadi penjelasan yang sering digunakan Kiai Maman untuk menggambarkan makna keseimbangan. Gambaran ini membantu santri memahami bahwa keseimbangan bukan pilihan tambahan, tetapi syarat untuk bertahan.

“Sayap kita boleh berbeda ukuran, ada yang sayapnya kecil, ada burung yang punya sayap besar. Yang penting dikepakkan secara seimbang sehingga kita bisa terus terbang,” ujarnya.

“Burung hanya dapat terbang dengan dua sayap yang bekerja harmonis. Bila satu patah, sebesar apa pun tubuhnya, ia akan jatuh,” sambung Kiai Maman.

Ia mengaitkan dua sayap tersebut dengan unsur penting dalam hidup, salah satunya doa dan usaha. Keduanya harus berjalan bersama.

“Misalnya, ada orang yang doa tapi tidak usaha. Maka, dia akan jatuh,” ucapnya.

Kiai Maman juga mengingatkan bahaya sebaliknya, yakni mengandalkan kerja keras tanpa menyadari batas diri. Ketidakseimbangan membuat ritme hidup mudah goyah.

Baca: Kekhasan Pendidikan Batin Pesantren

Sebagai jalan laku pesantren

Menurut Kiai Maman, keseimbangan adalah jalan laku, bukan konsep abstrak. Nilai ini melekat dalam kebiasaan harian santri dan guru, baik dalam ibadah maupun dalam menentukan sikap terhadap masalah sosial. Hidup, menurutnya, selalu terdiri atas dua sisi yang harus dijaga bersama.

“Ada ilmu, ada amal. Ada doa, ada ikhtiar. Ada Makkah, ada Madinah. Ada Ketuhanan, ada nubuwah (kenabian),” katanya.

Bagi Kiai Maman, seseorang dapat tumbuh matang apabila mampu menempatkan setiap unsur pada porsinya. Prinsip keseimbangan membantu santri tetap tenang menghadapi kritik, arus informasi, dan dinamika publik. Di tengah derasnya media sosial dan tensi politik, kejernihan berpikir menjadi kebutuhan penting. Prinsip Al-Mizan, menurutnya, membantu menjaga kewarasan di tengah keramaian informasi.

Nilai ini juga menumbuhkan karakter santri yang sabar, teliti dalam membaca persoalan, dan berhati-hati mengambil keputusan.

“Kami tidak ingin para santri terjebak dalam idealisme kosong tanpa kemampuan teknis, atau menjadi manusia praktis tanpa fondasi nilai,” ucapnya.

Baca: Dari Obor ke Podcast: Nilai Pesantren yang Pantang Padam

Merawat keseimbangan

Merawat prinsip keseimbangan di pesantren bukan perkara mudah. Kiai Maman mengakui perjalanan Pondok Pesantren Al-Mizan pernah melalui kritik, salah paham, dan dinamika internal. Namun, menurutnya, proses tersebut wajar dalam perkembangan lembaga.

Ia menekankan bahwa nilai tidak boleh berhenti sebagai gagasan. Nilai harus dijalankan secara konsisten melalui latihan menahan ego, mengasah kepekaan sosial, menjaga integritas, dan membangun hubungan yang sehat antarmanusia. Prinsip Al-Mizan hanya bertahan jika dipraktikkan.

Pesantren, kata Kiai Maman, menjadi ruang untuk melatih jiwa, pikiran, dan tindakan agar tetap pada jalur yang proporsional.

“Ketika nilai keseimbangan dijaga, pesantren akan mampu berdiri tegak menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan akar tradisi,” pungkasnya.

Obrolan selengkapnya bisa disimak di:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.