Ikhbar.com: Pondok Pesantren merupakan Kawah Candradimuka yang melahirkan dan mencetak para pendidik serta para tokoh bangsa.
Demikian ditegaskan oleh Prof. Dr. Nadhirsyah Hosen, Ph.D saat menjadi pembicara pada Simposium Internasional yang digawangi oleh Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) dan Sekolah Tinggi ilmu Tarbiyah (STIT) Buntet Pesantren. Selasa, (6/12/2022).
“Kalau ada tokoh bangsa yang bukan jebolan pesantren, itu ibaratnya makan sayur tanpa garam, akan kurang lengkap,” katanya.
Dalam sejarahnya, kata Nadhirsyah Hosen, setidaknya ada 3 peristiwa penting dalam sejarah yang menentukan umat Islam Indonesia saat ini.
“Yang pertama ketika dijajah oleh pemerintah Belanda, ada seorang ahli dari Belanda Snouck Hurgronje. Saat itu ia memberikan saran kepada pemerintah Belanda untuk tidak melarang ulama melaksanakan ibadah haji ke Mekah,” terangnya.
Nadhirsyah Hosen menjelaskan, saran tersebut kemudian diterima oleh pemerintah Belanda. Namun keputusan tersebut ternyata merupakan kesalahan terbesar bagi pemerintah Belanda.
“Karena ternyata saat itu Kiai tidak hanya sekadar beribadah haji, tetapi juga mengaji di tanah suci. Lebih pentingnya lagi, para Kiai tersebut bertemu dengan ulama dan aktivis dunia muslim lainnya yang juga mengalami penjajahan,” jelas Nadhirsyah Hosen.
Akhirnya, kata Nadhirsyah Hosen terjadilah pertukaran gagasan antar Kiai dari belahan dunia saat itu.
“Alhasil, para ulama mengetahui wawasan dunia Internasional. Mereka tahu yang sedang terjadi di belahan dunia lainnya. Mereka sadar bahwa bangsa muslim lainnya juga mengalami penjajahan,” ucapnya.
Nadhirsyah Hosen menceritakan, peristiwa penting lainnya yakni pada zaman dulu, transportasi dan komunikasi sangat terbatas. Sehingga Belanda merasa kesal dengan pemimpin Indonesia.
“Belanda saat itu kesal dengan pemimpin bangsa Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Syahrir. Maka kemudian Belanda membuang mereka ke luar Jawa,” jelasnya.
Nadhirsyah Hosen juga memberikan contoh lainnya seperti yang dialami oleh Pangeran Diponegoro yang dibuang ke Sulawesi hingga wafatnya.
“Imam Bonjol juga dari Padang dibuang ke Manado. Kemudian Bung Karno dibuang ke Sumatera dan maluku,” kata Nadhirsyah Hosen.
Tanpa sadar, lanjut dia, dengan tindakannya itu, Belanda memperlihatkan kepada pemimpin Indonesia bahwa bangsa ini bukan hanya Jawa.
“Para pemimpin bangsa itu menyadari, ternyata sesampainya di Sumatera juga sama dijajah oleh Belanda. Di sana juga sama-sama memiliki persoalan,” ujarnya.
Dengan demikian, kata Nadhirsyah Hosen, mereka yang berbaur dengan suku yanga berbeda dan memiliki budaya yang berbeda pula, akhirnya timbul persatuan yang kian kuat dan lahirlah wawasan kebangsaan.
“Terakhir, Saya ingin mencontohkan, dulu ada santri dari Bengkulu yang aslinya dari Bugis. Ketika kemudian Belanda menyerang Sulawesi Selatan, maka para pelaut Bugis itu dia berlayar menghindari Belanda hingga sampai ke sebuah desa di Bengkulu yang bernama Dusun Tanjung Agung,” jelasnya.
Santri ini, lanjut dia, kemudian mendengar nama besar bernama Kyai Abbas. Maka santri itu datang ke pulau Jawa untuk mencari di mana itu Buntet Pesantren berada.
“Maka kesimpulannya, pesantren ternyata mempertemukan berbagai santri dari berbagai tanah air,” katanya.
Nadhirsyah Hosen menjelaskan bahwa, santri yang diceritakannya tadi bernama Ibrahim Hosen, yang tak lain adalah ayahnya.