Begini Contoh Penggunaan Pendekatan Ma’na Cum Maghza dalam Penafsiran Alquran

Ikhbar.com: Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin menjelaskan bahwasannya teori Pendekatan Ma’na Cum Maghza muncul karena setiap bahasa mengalami diakronik.

“Di dalam bahasa setidaknya ada 2, yakni sinkronik, yakni bahasa tidak berubah atau tetap. Dalam bahasa Arab sendiri disebut Atsawabit,” jelasnya saat mengisi acara Public Lecture Pendekatan Ma’na Cum Maghza dalam Penafsiran Al-Qur’an di IAIN Cirebon pada Jumat, (2/12/2022).

Berikutnya, lanjut dia, yakni kemungkinan bahasa tersebut Al Mutaghoyyirah atau aspek yang selalu berubah, baik itu struktural atau maknanya, termasuk bahasa Arab.

“Maka untuk memahami al-Qur’an maka harus memahami bahasa Arab abad ke-7 M atau 1 H,” katanya.

Contohnya, kata Prof. Sahiron, yakni seperti apa yang ada di dalam QS Al Bayyinah.

…وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ

Menurut Prof. Sahiron, dalam berbagai mushaf terjemah, kerap kali ayat di atas diterjemahkan dengan ‘Mereka tidaklah diperintahkan kecuali menyembah Allah dengan cara ikhlas beragama’.

Makna Maghza Attarikhi di ayat tersebut:

“Jika diuraikan, kata ‘Mukhlishin’ pada ayat tersebut berupa Isim Fail. Memang terdapat kata Ikhlas dalam ayat tersebut. Sedangkan definisi ikhlas kurang lebih ‘Beramal kepada Allah apakah Hablum minallah ataupun minannas, itu tujuannya mendapat ridho Allah,” jelasnya.

Yang jadi pertanyaan, kata Prof. Sahiron, apakah kata Ikhlas cocok diterapkan pada ayat tersebut?

“Kalimat ‘Wamaa umiruu, terdapat Wawu dhomir jama’, maka pasti ada yang dirujuk. Siapa? Yakni Min Ahlil Kitab dan Musrikiin,” ucapnya.

Maka, lanjut Prof. Sahiron, pada ayat tersebut jika diterjemahkan ‘Ikhlas’ tidaklah rasional.

“Lah Ahlil Kitab dan Musyrikin masuk Islam saja belum kok suruh ikhlas?,” jelasnya.

Menurutnya, penggunaan ‘Ikhlas beragama’ dalam ayat tersebut mengandung keanehan atau anomali. Sebab yang diperintahkan dalam itu orang musyrik.

“Kata ‘Mukhlishin’ itu basic minim atau makna dasar (makna kamus), relations meaning atau makna yang relasional,” katanya.

Prof. Sahiron menjelaskan, kata ‘Akhlasho’ dalam kamus Lisanul Arob makna dasarnya ‘Memurnikan sesuatu atau tidak ada campuran’.

Maf’ul bihnya yakni ‘Addina’ yakni memurnikan addin, ‘Lahu’ untuk Allah,’ jelas Prof. Sahiron.

“Apakah kata ‘Akhlasho’ itu dibawa Alquran dalam bentuk dasarnya, atau makna relasionalnya? Pertanyaannya lagi, kata ‘Addin’ ini makna dasar atau relasionalnya?,” ucap Prof. Sahiron.

Ia menjelaskan, jika melihat kamus Lisanul Arob, kata ‘Addin‘ sendiri diartikan sebagai ‘Ketaatan dan Penyembahan’.

“Kata ‘Addin’ di sini bukan agama secara keseluruhan, melainkan sebuah ketaatan. Mungkin ada ketaatannya, tapi yang paling dekat adalah penyembahan,” ujarnya.

Maka yang tepat dalam terjemahan tersebut yakni ‘Mereka tidaklah diciptakan oleh Allah kecuali menyembah dengan cara memurnikan penyembahannya kepada Allah Swt’.

“Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut sebenarnya menjelaskan tentang tauhid. Memang, kata “Tauhid’ di dalam Alquran belum diterjemahkan keTuhanan, makanya mengalami diakronik,” terangnya.

Prof. Sahiron mengatakan, jika tidak sadar pentingnya bahasa Arab abad ke-7, maka bisa keliru terjemahannya.