Ikhbar.com: Banyak orang menghindari filsafat karena menganggapnya berat, rumit, dan membingungkan. Sebagian lainnya menilainya terlalu elitis, seolah hanya cocok untuk kalangan akademisi atau mereka yang gemar berpikir mendalam.
Padahal, menurut Dr. Sururi Maghfuri Abdullah, dosen dan peneliti filsafat, memahami induk pengetahuan tersebut sebenarnya bisa dimulai dari hal yang sangat dekat dan personal, yakni rasa ingin tahu.
Dalam perbincangan di Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Filsafat sebagai Alat” di Ikhbar TV, Doktor Uyi, sapaan karibnya, mengenang bagaimana ketertarikannya pada pertanyaan-pertanyaan mendasar sudah tumbuh sejak kecil.
“Ketika usia saya sekitar delapan tahun, saya bertanya kepada ibu, ‘Bu, siapa yang memberi nama benda-benda di dapur ini? Dan kenapa dinamai begitu?’” kenangnya, dikutip Rabu, 23 Juli 2025.

Baca: Seikat Pertalian Islam dan Filsafat
Menurut Doktor Uyi, kala itu sang ibu menjawab sederhana, “Itu semua dinamai oleh Nabi Adam.” Namun, justru dari jawaban itu, muncul ruang refleksi yang dalam. Bertahun-tahun kemudian, ketika membaca ayat Al-Qur’an tentang Nabi Adam yang diajarkan nama-nama oleh Tuhan, dia merasa terhubung. Dari situlah benih filsafat tumbuh sebagai upaya memahami sesuatu secara lebih jernih dan menyeluruh.
Langkah pertama untuk memahami filsafat, kata Doktor Uyi, adalah mempertahankan rasa ingin tahu yang tulus dan tidak cepat puas dengan jawaban-jawaban instan.
“Filsafat itu menjadikan segala sesuatu sebagai objek berpikir,” tegas doktor jebolan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut.
Tak ada yang terlalu remeh atau terlalu agung untuk dipertanyakan. Justru dari pertanyaan mendasar seperti “Apa itu hidup?” “Mengapa kita percaya?” atau “Bagaimana kita tahu sesuatu itu benar?” seseorang mulai memasuki wilayah berpikir filosofis. Tanpa keingintahuan, filsafat hanya akan menjadi teori kering di ruang kelas.
Kedua adalah keberanian untuk berpikir kritis terhadap segala hal yang selama ini dianggap mapan. Doktor Uyi menyebut bahwa salah satu kekuatan filsafat adalah keberaniannya membongkar kemapanan, bahkan jika itu berasal dari lingkungan sendiri.
Dalam pengalamannya, ia sempat menghadapi resistensi saat membentuk kelompok diskusi filsafat di pesantren.
“Ada yang menuduh saya melecehkan teks fikih, bahkan sampai melabeli sesat, hanya karena pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan dianggap tidak lazim,” ungkapnya.
Namun, baginya, itu adalah risiko berpikir secara sehat. Justru dengan mempertanyakan hal-hal mendasar, seorang santri bisa menjaga jati dirinya di tengah arus perubahan zaman yang deras.
Langkah ketiga adalah kemauan untuk membaca dan merenung, berulang kali, tanpa tergesa-gesa ingin langsung paham. Doktor Uyi menyebut novel Dunia Sophie (1991) karya Jostein Gaarder sebagai salah satu bacaan awal yang membuka cakrawala filsafat baginya.
“Saya bacanya enggak cukup sekali. Mungkin lima sampai enam kali,” katanya sambil tersenyum.
Baca: Mengapa Filsafat Penting bagi Santri? Ini Kata Doktor Uyi
Direktur Institute for Research and Consulting of Education (IRCEDU) itu juga mengakui bahwa memahami gagasan filosofis memang tidak bisa dicapai hanya dengan sekali baca. Dengan membaca ulang, seseorang akan menemukan kedalaman makna yang sebelumnya terlewat.
Doktor Uyi juga menyarankan agar pemula tidak langsung meloncat ke karya-karya filsuf besar yang kompleks. Ada banyak buku pengantar yang bisa dijadikan batu loncatan, seperti ringkasan pemikiran Al-Ghazali, Muhammad Iqbal, atau tulisan kontemporer yang memadukan filsafat dengan spiritualitas. Bahkan refleksi pribadi pun bisa menjadi pintu masuk yang sah ke dalam dunia filsafat, asal dilakukan dengan kesadaran dan ketekunan.
Pada akhirnya, memahami filsafat bukan soal menjadi cerdas, tetapi soal kejernihan berpikir, ketajaman membaca realitas, dan kerendahan hati dalam proses pencarian makna. Filsafat bukan sekadar ilmu, melainkan cara bertanya, menyikapi, dan mengolah pengalaman.
“Kalau santri tidak dibekali filsafat, nanti dia akan gagap saat berhadapan dengan realitas sosial,” tegas Sururi.
Dengan keingintahuan yang tulus, keberanian berpikir kritis, dan ketekunan dalam membaca, siapa pun bisa memahami filsafat. Tidak perlu menjadi filsuf, cukup menjadi manusia yang mau berpikir.
Simak obrolan selengkapnya di sini: