Ikhbar.com: Pemerintah memberikan keringanan kepada pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan menghapus piutang macet hingga Rp486. Kebijakan ini memberikan angin segar bagi ribuan pelaku usaha kecil yang selama ini tercekik utang dan kesulitan membayar cicilan.
Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, hingga 11 April 202 tercatat sebanyak 19.375 debitur telah menikmati kebijakan penghapusan piutang tersebut. Hal ini menjadi bentuk nyata implementasi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 yang mengatur soal penghapusan piutang macet bagi UMKM.
Menteri Koperasi dan UKM, Maman Abdurrahman mengaku masih banyak kendala teknis di lapangan, terutama syarat wajib restrukturisasi pinjaman.
“Dari 1.097.155 debitur yang mengajukan, hanya 67.668 yang memenuhi syarat restrukturisasi dan layak dihapuskan piutangnya,” jelas Maman dalam rapat bersama DPR pada Jumat, 2 Mei 2025.
Baca: Ikhbar.com Dorong Pengembangan UMKM dan Pesantren
Padahal, lanjutnya, total nilai piutang macet yang berpotensi dihapuskan mencapai Rp14,8 triliun. Sayangnya, banyak pelaku usaha kecil terhalang syarat administratif, termasuk biaya restrukturisasi yang justru lebih tinggi daripada manfaat penghapusan utangnya sendiri.
Maman menegaskan perlunya regulasi lanjutan sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN, khususnya pasal 62 D, E, dan H. Pasal-pasal tersebut memungkinkan piutang dihapuskan tanpa proses restrukturisasi, sehingga bisa menjangkau lebih dari 1 juta debitur yang saat ini masih menunggu kejelasan.
“Kalau tidak perlu restrukturisasi, kita bisa hapus tagih semuanya, itu lebih adil,” ujarnya.
Meskipun sejumlah kendala di perbankan seperti di BRI sudah bisa diatasi, Maman menyoroti lambatnya persetujuan dari OJK. Perubahan jajaran direksi setelah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) disebut menjadi salah satu alasan tertundanya keputusan.
Meskipun kebijakan penghapusan piutang macet patut diapresiasi, kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak pelaku UMKM yang belum tersentuh kebijakan ini. Sebagian besar dari mereka adalah debitur dengan nilai pinjaman kecil, namun justru terhambat oleh proses birokrasi dan persyaratan administratif yang kompleks.
Maman menyampaikan bahwa banyak UMKM merasa enggan mengajukan restrukturisasi karena prosesnya yang rumit dan tidak sebanding dengan nominal pinjaman. Biaya yang dikeluarkan justru dinilai lebih tinggi dari total utang yang akan dihapus.
“Kami berharap ke depan tidak ada lagi syarat yang menyulitkan. Justru UMKM yang kecil-kecil ini yang harus diprioritaskan,” kata Maman.
Untuk itu, Kementerian Koperasi dan UKM akan terus mendorong penyederhanaan prosedur, termasuk usulan perubahan kebijakan yang memungkinkan penghapusan piutang dilakukan tanpa perlu restrukturisasi formal.
Dukungan dari DPR menjadi kunci penting dalam mendorong percepatan pelaksanaan kebijakan ini. Dalam rapat kerja tersebut, sejumlah anggota dewan menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan regulasi turunan dan pengawasan ketat terhadap bank penyalur.
Bagi para pelaku UMKM sendiri, penghapusan piutang bukan sekadar soal mengurangi beban finansial, tetapi juga menjadi momentum untuk memulai kembali usaha mereka dengan lebih optimis. Banyak di antara mereka yang terjebak dalam status kredit macet selama bertahun-tahun, tanpa solusi yang jelas.
“Saya sudah tak bisa akses kredit lagi karena status saya macet sejak pandemi. Kalau benar dihapus, saya bisa mulai lagi,” ujar Sari, seorang pengusaha makanan kecil di Yogyakarta.
Di sisi lain, masalah Kredit Usaha Rakyat (KUR) juga mendapat sorotan dalam rapat tersebut. Sejumlah anggota Komisi VII DPR menyesalkan masih adanya bank yang meminta agunan untuk pinjaman KUR di bawah Rp100 juta, padahal regulasi menyebut sebaliknya.
Merujuk Permenko Perekonomian Nomor 1 Tahun 2023, KUR di bawah angka tersebut seharusnya dapat diajukan tanpa jaminan tambahan. Sayangnya, praktik di lapangan belum mencerminkan hal itu.
“Banyak pelaku usaha yang mengira bisa dapat pinjaman Rp100 juta tanpa jaminan, tapi kenyataannya tetap diminta agunan,” kata Ketua Komisi VII DPR, Saleh Partaonan Daulay.
Menteri Maman tak menampik temuan tersebut. Ia menegaskan pihaknya sudah membentuk Satuan Tugas Perlindungan dan Pemberdayaan UMKM untuk memastikan aturan dijalankan sesuai ketentuan. Ia juga mengingatkan, jika terbukti ada bank yang melanggar ketentuan, sanksi akan dijatuhkan.
“Subsidi bunga bisa kami cabut jika bank penyalur KUR tidak patuh,” tegasnya.
Penghapusan piutang dan pembenahan program KUR hanyalah sebagian dari pekerjaan besar dalam membangun ekosistem UMKM yang sehat dan berdaya saing. Pemerintah diharapkan tidak berhenti pada kebijakan populis semata, tetapi juga konsisten dalam implementasi dan pengawasan.
Sinergi antara kementerian, lembaga keuangan, OJK, serta DPR menjadi sangat krusial. Transparansi data debitur, percepatan prosedur persetujuan, hingga pengawasan terhadap bank pelaksana harus dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan.
UMKM yang sehat dan terbebas dari jerat utang adalah fondasi penting untuk menggerakkan ekonomi nasional. Penghapusan utang Rp486 miliar memang bukan akhir dari masalah, tetapi bisa menjadi awal dari kebangkitan usaha kecil di Indonesia.