Keyakinan Fondasi Kesuksesan, Mendalami Makna Hijrah Syekh ‘Ala Musthafa An-Na’imah

Ilustrasi jejak di padang pasir. Dok ARAB NEWS

Oleh: Muhammad Qomaruddin (Pendidik di MTsN 1 Kota Cirebon, Jawa Barat)

PENETAPAN kalender hijriah dimulai masa Kekhalifahan Umar bin Khattab. Dasarnya ialah perintah Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw untuk berhijrah atau melakukan perjalanan dari Makkah ke Madinah. Peristiwa ini kemudian disebut sebagai awal kebangkitan dan babak mula kejayaan umat Islam.

Secara umum, hijrah kerap disebut memiliki dua makna. Pertama, secara zhahiriy, yaitu perpindahan dari suatu tempat menuju ke tempat lainnya yang lebih baik. Pengertian ini dilandasi oleh peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Makkah, daerah yang saat itu sangat memojokkan Islam, menuju Madinah, sebuah wilayah yang ditunjukkan Allah Swt sebagai tempat terbaik untuk umat Muslim.

Kedua, bisa ditelaah secara ma’nawiy. Dalam pemaknaan ini, hijrah bisa diartikan sebagai perubahan dari satu keadaan kepada kondisi lain yang lebih baik. Maksudnya, hijrah adalah semacam itikad kuat dari seseorang untuk berubah menjadi lebih baik. Pemaknaan ini yang dijadikan hikmah bagi umat Islam masa kini di setiap peringatan Tahun Baru Islam, mengingat perintah untuk melakukan hijrah secara langsung dari Allah Swt hanya ada di masa Rasulullah Saw.

Baca: Sahabat Nabi Paling Pemberani, Abu Bakar atau Ali?

Kisah Suraqah

Peristiwa hijrah sudah barang tentu memberikan pelajaran yang begitu agung bagi kehidupan umat manusia. Di antaranya, kemantapan seseorang untuk berubah menjadi lebih baik, keberanian untuk melakukan hijrah (merantau) untuk mengejar masa depan, dan pemilihan teman sebagai support system untuk hijrah menjadi pribadi yang lebih baik menjadi sesuatu yang tidak kalah penting.

Namun, pemaknaan peristiwa hijrah yang lebih mendalam ditemukan saat mendengarkan penjelasan Syekh ‘Ala Musthafa An Na’imah, wakil Thariqah ‘Azzamiyyah, Mesir. Dalam lawatannya ke Majelis Sirojul Munir, Majalengka, Jawab Barat binaan Ustaz Imanuddin Najib, Syekh ‘Ala mengawali pemaknaan hijrah dengan mengutip Sirajul Munir, karya Syekh Abdussalam Ali Syita.

Menurutnya, hikmah utama dari peristiwa hijrah adalah keyakinan dan keimanan. Salah satunya diambil dari kisah sayembara hadiah 100 ekor unta oleh kaum Quraisy bagi siapa saja yang dapat menangkap Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang sedang melakukan perjalanan dari Makkah ke Madinah. Lantas, kabar itu pun sampai kepada Suraqah bin Malik, yang saat itu belum masuk Islam. Ia yang dikenal pemberani dan tercatat sebagai pemimpin salah kabilah mengajukan diri untuk menangkap keduanya.

Suraqah adalah sosok yang mampu mengumpulkan 1.000 tentara dalam waktu lima menit. Fisik Suraqah dapat dibayangkan sebagai seseorang sangat kuat dengan pasukan melimpah di belakangnya. Selain itu, dia juga didorong motivasi besar dari hadiah 100 ekor unta yang dijanjikan dalam sayembara tersebut.

Dengan semangatnya yang menggebu-gebu, Suraqah pun kemudian berhasil mencegat perjalanan Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar. Ketika melihat kedua manusia mulia itu, Suraqah keburu terlampau gembira lantaran 100 ekor unta sudah terbayang di depan mata. Namun, di saat ia mengejar dengan kudanya, Suraqah tersungkur tanpa sebab.

Dampak peristiwa itu, suasana hati Suraqah mendadak berubah. Niat hati ingin menangkap Nabi Saw, malah berubah menjadi sebuah keyakinan bahwa Rasulullah Saw adalah orang yang memang jujur dan dilingkupi perlindungan dari Dzat Yang Maha Agung.

Hal itu kian menguat saat Suraqah melihat wajah Nabi Saw. Dia semakin yakin dan memahami bahwa jaminan perlindungan Allah Swt terhadap Rasulullah Saw itu menyebabkan kekuatannya terasa melemah. Dia pun kagum. Lantas meminta Nabi Saw menuliskan perjanjian atau kesepakatan untuk memberikan keselamatan dan keamanan baginya.

Mendengar permohonan Suraqah, Rasulullah Saw pun meminta Abu Bakar menuliskan bahwa Sayyidina Muhammad Saw, kelak, akan menghadiahinya sebuah Siwar, yakni pelindung dari emas yang biasa dimiliki raja-raja Persia maupun Romawi.

Di sinilah letak keistimewaannya. Bagaimana mungkin seorang Quraisy yang sedang terusir dan dipaksa meninggalkan seluruh kehidupannya di Makkah menjanjikan harta yang begitu megah? Akan tetapi, Suraqah percaya setelah ia terkesima oleh cahaya yang memancar di wajah Rasulullah Saw. Suraqah pun menyatakan diri masuk Islam.

Baca: Khalifah Abu Bakar As-Shidiq Tolak Dinasti Politik

Berbuah kesuksesan

Beberapa dekade kemudian, saat kekhalifahan ada di tangan Umar bin Khattab, terdengar kabar bahwa Persia dan Romawi berhasil ditaklukkan. Berita kemenangan itu dibuktikan dengan salah satu benda rampasan perang berupa Siwar. Suraqah yang saat itu tinggal di Madinah datang membawa surat perjanjian yang dulu ia dapatkan dari Rasulullah Saw, dan meminta harta tersebut sesuai apa yang tertulis di dalamnya. Dia pun mendapatkan Siwar dari sang Khalifah.

Syekh ‘Ala menekankan agar merenungkan kisah tersebut secara mendalam. Bagaimana bisa, seorang pemimpin yang dikenal perkasa justru meminta tolong keamanan kepada dua orang yang tanpa senjata? Itulah keyakinan. Yakin itu ada di hati. Hal itu juga bisa dimaknai bahwa keyakinan penentu kesuksesan. Bisa jadi, setiap kegagalan seseorang di masa lampau, justru disebabkan ketidakyakinannya sendiri.

Rasulullah Saw bersabda:

نِيةُ المُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ

“Niat seorang mukmin lebih utama dari pada amalnya.” (HR. Al-Baihaqi)

Hadis tersebut juga menegaskan bahwa fondasi hijrah atau iktikad berubah kepada kebaikan adalah keyakinan dan keimanan.

Alhasil, tahun baru Islam, sudah semestinya dimanfaatkan sebagai momentum menguatkan tekad dan keyakinan. Terutama, yakin untuk mampu berubah menjadi lebih baik, seyakin Suraqah yang pada masanya akan mendapatkan Siwar.[]

Kami mengundang para pembaca yang budiman untuk menyumbangkan buah pikirannya melalui kanal ‘Risalah.’ Kirimkan tulisan terbaik Anda melalui email redaksi@ikhbar.com

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.