Ikhbar.com: Berbeda pilihan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 adalah hal yang lumrah terjadi, bahkan di dalam lingkungan keluarga.
Perbedaan tersebut sebaiknya diartikan sebagai khilafiyah (ragam pendapat) yang setiap orang berhak untuk memilihnya. Penting dicatat, teguh dengan pilihan politik tidak seharusnya membuat seseorang merasa paling benar atau menyalahkan orang yang memiliki pandangan berbeda.
Demikian disampaikan Praktisi Fikih Nisa sekaligus Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), Nyai Uswatun Hasanah Syauqi. Ia mengatakan, Setiap manusia dianugerahi al-Istiqlal al-Syakhsyi (kemandirian pribadi dalam menentukan pilihan-pilihan hidup), serta al-Istiqlal al-Siyasah (kemandirian dalam hal berpolitik).
“Namun, agama telah mengajarkan agar ummatnya tidak terlalu fanatik berlebihan terhadap pilihan-pilihannya,” ungkap Ning Uswah, sapaan karibnya, dalam artikel berjudul “Beda Pilihan Capres dengan Pasangan? Fanatik Buta Jangan Rusak Rumah Tangga” di Ikhbar.com pada Jumat, 15 September 2023 lalu.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur itu juga mengatakan, fanatik berlebihan yang disertai kecenderungan berbuat zalim merupakan akar dari timbulnya segala permasalahan.
Allah Swt berfirman:
وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى …
”…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8).
Baca: Nihil Capres Perempuan, Ini Tips Memilih ala Ning Uswah
Tips memilih calon pemimpin
Ning Uswah mengingatkan agar tidak memberikan mandat suara kepada kandidat Pemilu berdasarkan suka atau tidak suka. Terlebih lagi, pilihan dijatuhkan karena terpengaruh narasi black campaign yang dibuat oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Sedikitnya, ungkap Ning Uswah, ada dua sikap yang perlu diperhatikan. Pertama, kelebihan dan kekurangan dipandang sebagai sumber konflik, sehingga sebisa mungkin harus dilupakan.
“Kita diajak fokus pada persamaan, bahwa semua manusia adalah khalifah fil ardl (pemimpin di bumi) yang mengemban amanah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat. Maka, yang menjadi musuh bersama manusia adalah segala tindakan tidak manusiawi dan tindakan eksploitatif pada makhluk Allah Swt,” jelas dia.
Kedua, kelebihan dan kekurangan tiap-tiap capres-cawapres dipandang secara positif dan sinergis sebagai modal sosial untuk maju bersama. Perintah Allah Swt untuk taaruf antarmanusia dapat diterapkan dengan ikhtiar mengenali persamaan sekaligus perbedaan satu capres dengan capres lainnya.
“Ikhtiar mengenali perbedaan ini dilakukan bukan dalam semangat mendiskreditkan pasangan calon lainnya, melainkan semangat untuk memastikan pilihan,” ungkapnya.
Baca: Beda Pilihan Capres dengan Pasangan? Fanatik Buta Jangan Rusak Rumah Tangga
Kemerdekaan memilih
Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat, Kiai Ghufroni Masyhuda menyatakan bahwa pilihan politik mirip dengan mazhab dalam terminologi fikih. Tidak ada paksaan bagi siapa pun untuk mengikuti mazhab tertentu.
“Mazhab itu seperti partai dalam fikih, dan partai itu seperti mazhab dalam politik. Jadi, perbedaan dalam fikih dan politik seharusnya dihadapi dengan santai, karena fikih dan politik berada dalam ranah khilafiyah,” tegas Kiai Ghufroni.
Sosok yang juga menjabat sebagai Anggota Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon itu menegaskan bahwa pilihan politik tidak boleh muncul dari sikap oportunisme, yaitu dengan menukar mandat suaranya kepada kontestan Pemilu yang memberikan sejumlah uang atau manfaat lain.
Baca: Hukum Terima Uang dari Caleg atau Tim Sukses Capres menurut Fikih
Perilaku demikian termasuk ke dalam kategori risywah (suap) yang dilarang dalam Islam. Imam An-Nawawi Ad-Damasyqi dalam Raudlatul Thalibin wa Umdatul Muftin, mengutip maqalah Imam Al-Ghazali, menulis sebagai berikut:
قال الغزالى فى الاحياء المال اما يبذل لغرض اجل فهو قربة وصدقة واما لعاجل وهو اما مال فهو كهبة بثواب او لتوقع لثواب، واما عمل فان كان عملا محرما او واجبا متعينا فهو رشوة وان كان مباحا فاجارة أو جعالة، واما للتقرب والتودد الى المبذول له فان كان بمجرد نفسه فهدية
“Imam Al-Ghazali berkata, ‘Pemberian itu adakalanya diberikan dengan tujuan ingin mendapatkan pahala kelak di akhirat, maka pemberian itu adalah amal taqarrub atau sedekah. Adakalanya dengan tujuan yang bersifat dunia, seperti mengharapkan suatu benda, maka pemberian itu termasuk hibah bitsawab (serupa jual beli). Ada pula pemberian yang dilakukan dengan tujuan agar si penerima mau melakukan suatu pekerjaan, maka jika pekerjaannya haram (seperti untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, termasuk dalam rangka memengaruhi seseorang untuk memilih calon yang mestinya tidak layak untuk dipilih dalam sebuah kontestasi politik) atau pekerjaannya bersifat wajib aini (seperti memberi tips kepada hakim), maka pemberian itu tergolong risywah (suap) yang diharamkan. Kemudian, apabila pemberian itu dilakukan agar yang diberi mau melakukan pekerjaan yang mubah (diperbolehkan), maka itu adalah ijarah (menyewa, seperti kita memberi orang agar melakukan pekerjaan mencangkul, membenahi rumah, mengantarkan ke suatu tempat, dan sejenisnya). Ada pula pemberian dengan tujuan agar bisa makin dekat dan sayang, maka pemberian itu adalah hadiah (seperti ketika kita memberikan sesuatu kepada kerabat atau sahabat).”