Assalamualaikum. Wr. Wb.
Dewan Redaksi Ikhbar.com dan Ning Uswah, yang saya hormati. Perkenalkan, saya Widyowati dari Kendal, Jawa Tengah.
Izin bertanya. Di desa saya, pringatan Maulid Nabi sudah menjadi tradisi turun-temurun dan selalu diselenggarakan dg khidmat. Namun, setiap kali acara digelar, saya selalu merasa bahwa kelompok perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap. Kami hanya dilibatkan dalam urusan logistik, menyajikan makanan, mengatur dekorasi, atau cuma menjadi pendengar di barisan belakang.
Tidak jarang, ketika saya atau perempuan lain mencoba untuk menawarkan pendapat atau saran terkait acara, kami malah dianggap melangkahi tradisi, atau lebih buruk lagi, dianggap kurang sopan.
Apakah benar bahwa kita harus mengikuti tradisi ini tanpa memberikan ruang lebih bagi perempuan? Bagaimana saya bisa menyuarakan keinginan untuk terlibat lebih dalam dengan tanpa mengabaikan tradisi dan tetap mempromosikan nilai kesetaraan yang sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad Saw? Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Baca: Maulid Nabi dari Kacamata Astronomi
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb.
Kak Widyowati dari Kendal, Jawa Tengah, terima kasih atas pertanyaannya.
Bulan Maulid adalah momentum yang paling dirindukan, dicintai, dan dinanti kehadirannya. Di dalam perayaan maulid Nabi ada pembacaan selawat dan ulasan sejarah Nabi.
Ulama terkemuka, Habib Umar bin Hafidz pernah mengatakan, “Siapa yang merayakan Maulid Nabi, maka ketika di akhirat, akan dirayakan bersama-sama Nabi.”
Kelahiran Nabi Muhammad Saw yang diagungkan Allah Swt dan seluruh semesta sejatinya melalui tiga tahap. Pertama, saat Allah Swt menciptakan Nur Muhammad sebelum penciptaan alam semesta. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam hadis qudsi:
لَوْلَاكَ لَوْلَاكَ يَا مُحَمّد لما خَلَقْتَ الأَفْلَاك
“Jika bukan karena engkau wahai Muhammad, tidak akan aku ciptakan alam semesta ini.”
Kedua, saat Nabi Muhammad lahir melalui rahim Sayyidah Aminah Ra pada 12 Rabiul Awal di Tahun Gajah.
وُلِدَ رَسُولُ اللَّهِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ، لِاثْنَتَيْ عَشْرَةَ لَيْلَةً خَلَتْ مِنْ شَهْرِ رَبِيع الْأَوَّلِ، عَام الْفِيلِ
“Rasulullah dilahirkan di hari Senin, tanggal dua belas di malam yang tenang pada bulan Rabiul Awal, Tahun Gajah.” (HR. Ibnu Abbas).
Ketiga, saat Allah Swt mengangkat Baginda Muhammad Saw menjadi Rasul-Nya. Titah itu merupakan anugerah bagi seluruh semesta.
Allah Swt berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا
“Sungguh-sungguh Allah Swt telah memberikan karunia bagi orang-orang beriman tatkala Dia mengutus bagi mereka seorang Rasul.” (QS. Ali Imran: 164).
Baca: Maulid Nabi, Momentum Gen Z Kenali Keadilan Hakiki
Peristiwa kelahiran Nabi menjadi cahaya bagi kegelapan dunia. Nasib perempuan merupakan salah satu dari alasan diutusnya Nabi Muhammad ke dunia sebagai pembangunan peradaban Islam.
Perempuan menjadi tokoh yang sangat diuntungkan oleh kehadiran Nabi Muhammad Saw. Di tengah tradisi Arab yang masih memandang bahwa perempuan adalah makhluk nomor dua setelah laki-laki, Nabi Muhammad Saw hadir dengan gerakan menyetarakan hak dan mendistorsi habis ketimpangan pada perempuan.
Rasulullah Saw menempatkan perempuan sebagai makhluk mulia dan memiliki berbagai hak yang setara dengan laki-laki dalam berbagai hal.
Sifat Nabi Saw yang demikian membuat kekasih Allah tersebut menjadi sosok panutan.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21).
Maka, merayakan Maulid Nabi adalah wujud dari iman kepada Allah Swt. Hal itu sebagaimana perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib:
مَنْ عَظَّمَ مَوْ لِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَخْرُجُ مِنَ الدُّنْياَ اِلاَّ بِاْلإِ يْمَانِ
“Barangsiapa memuliakan (memperingati) kelahiran Nabi Saw, apabila ia pergi meninggalkan dunia, ia pergi dengan membawa iman.”
Idealnya, seluruh umat Islam berbahagia dalam merayakan Maulid Nabi. Terlebih bagi perempuan. Pasalnya, Maulid Nabi adalah sejarah penting bagi eksistensi kaum Hawa.
Sebagaimana Nabi Saw melindungi perempuan agar diberikan hak hidup, Rasululullah juga sangat membenci femisida, serta memuliakan perempuan sebagaimana cita-cita Al-Qur’an.
Saat perayaan Maulid Nabi, laki-laki dan perempuan harus saling bersinergi untuk bersama-sama mengadakan perayaan dengan penuh hikmat. Kerja sama dan saling tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan untuk amalan kebaikan ini sangat dianjurkan Allah Swt.
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. At-Taubah: 71).
Dalam perayaan Maulid Nabi, semua orang bisa berperan sesuai dengan porsinya masing-masing. Mulai dari konseptor acara, tata ruang, pengamanan, kenyamanan, sound system atau tata suara, kelistrikan, pengaturan anggaran dan biaya, hingga seluruh kebutuhan logistik, tanpa terkecuali hidangan. Penanganan semua elemen acara tersebut membutuhkan tenaga yang mumpuni yang sesuai dengan keahliannya masing-masing. Sebab, Nabi Muhammad Saw bersabda:
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظَرْ السَّاعَةَ
“Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka akan tunggulah terjadinya kerusakan.” (HR. Bukhari).
Kita perlu menormalisasi kerja-kerja logistik (domestik) dan publik sebagai sesuatu yang tidak boleh ditentukan berdasarkan gender. Semuanya harus diukur berbasis kompetensi.
Baca: Bolehkah Perempuan Lebih Dulu Menyatakan Cinta? Begini Penjelasan Ning Uswah
Perempuan yang kompeten sebagai konseptor, maka dia bisa menjadi ketua panitia yang mengkoordinir acara dengan baik.
Sebagai contoh, Ibu Nyai Zahro dari Tulungagung. Beliau merupakan konseptor acara pada saat haul Masyayikh Pesulukan Thoriqoh Agung (Peta). Nyai Zahro mengkoordinasi seluruh rangkaian acara, membagi estimasi waktu untuk ketepatan rundown, bahkan sebelum hari H beliau secara aktif menghubungi beberapa vendor demi memastikan keperluan acara berjalan dengan baik. Hasilnya, puluhan ribu murid dan jemaah yang menghadiri acara haul bisa mengikuti acara dengan khidmat.
Banyak juga nyai dan mubalighah yang menjadi singa-singa podium, narasumber andal, yang terbiasa mengisi mauizah hasanah dalam acara Maulid Nabi.
Laki-laki yang lebih kompeten di bidang logistik juga tak kalah banyak. Penanganan sound system pun lebih biasa di-handle oleh panitia laki-laki.
Namun, yang pasti, tidak ada yang boleh merendahkan pekerjaan apapun yang dilakukan dalam rangka menyukseskan peringatan Maulid Nabi. Sebab, yang berada di dapur dan menata dekorasi adalah orang-orang yang mencintai Nabi. Begitu juga yang duduk di belakang sebagai mustami’in (pendengar) maupun di VIP merupakan orang-orang yang sangat mencintai Rasulullah.
Baca: Maulid Nabi ala Sufi
Sampai di sini, saya terinspirasi dengan rumus predikat takwa yang pernah dibeberkan ulama perempuan Indonesia, Dr. Ny. Hj. Nur Rofiah, Bil., Uzm. Bahwa kriteria takwa sama sekali tidak terganggu dengan peran dan posisi yang dijalankan seorang Muslim.
Jadi, mana yang lebih mulia dalam sebuah perhelatan Maulid Nabi? Tentu jawabannya, koki di dapur yang mencintai Nabi, lebih mulia daripada yang duduk di podium, tetapi dia tidak mencintai Nabi. Mustami’in yang duduk di belakang, yang mencintai Nabi, akan lebih mulia, ketimbang mustami’in yang duduk di depan tapi tidak mencintai Nabi. Begitu pula sebaliknya. Bukan karena peran, tugas, atau tempat dan statusnya, tapi karena cintanya.
Alhasil, dalam posisi dan peran apapun, kita mesti merawat cinta kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah melahirkan hubungan baik dengan sesama makhluk-Nya.
Wallahu a’lam bis shawab.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.