Assalamualaikum. Wr. Wb
Ikhbar dan Ning Uswah, perkenalkan saya Azra Khairunnisa, dari Cimahi, Jawa Barat.
Saya ingin bertanya, benarkah dalam fikih, jodoh seorang perempuan yang belum pernah menikah/gadis mutlak berada di tangan orang tua/wali? Masih adakah ruang atau hak untuk menentukan bagi seorang gadis Muslimah saat lamaran tersebut sudah disetujui orang tua? Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb.
Terima kasih, Kak Azra Khairunnisa dari Cimahi.
Dalam literatur fikih, terdapat dua istilah wali. Yang pertama, al-walayah al-‘ammah atau kekuasaan umum, yang kedua, al-walayah al-khassah atau kekuasaan khusus.
Dalam konsep al-walayah al-khassah, terdapat dua hal yang menjadi tanggung jawabnya. Pertama, al walayah al mal (tanggung jawab atas harta benda), seperti tanggung jawab mengelola, mengembangkan, dan menjaga harta yang berada dalam perwalian. Kedua, al walayah an-nafs (tanggung jawab atas jiwa seseorang). Dalam hal ini mencakup tanggung jawab untuk memelihara jiwa, membina roh seseorang, menikahkan, dan segala tanggung jawab yang konteksnya betkaitan dengan urusan sakhsiyah (personal) yang berada dalam perwaliannya.
Pernikahan merupakan mitsaqan ghalidza (ikatan kokoh) yang dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt melalui akad atau persetujuan, berupa ijab dan qabul antara calon suami dan calon istri, disaksikan oleh dua orang, dan bagi calon istri disyariatkan memiliki wali. Hal itu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ، وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ
“Tidak (sah) pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. Pernikahan yang bukan atas jalan demikian, maka batil.” (HR. Ibnu Hibban)
Konsep perwalian dalam fikih terbagi dua, yakni wali mujbir dan wali ghaira mujbir.
Wali mujbir adalah wali yang memiliki hak penuh untuk memaksa anak gadis yang berada dalam perwaliannya. Wali mujbir mencakup ayah, kemudian kakek dari garis ayah. Sedangkan yang termasuk wali ghaira mujbir adalah semua yang termasuk ashabah dalam hukum waris, kecuali ayah dan kakek dari garis ayah (bagi perempuan gadis maupun janda).
Baca: Batas Ketaatan Istri kepada Suami
Namun, konsep ijbar nikah tidak luput dari sejarah peradaban pada masa sebelum datang Islam, yang menganggap perempuan sebagai tamlik atau kepemilikan. Maka, perempuan diposisikan sebagai komoditas yang sepenuhnya dimiliki ayah atau walinya.
Lalu, Islam turun dan membawa risalah yang memangkas sedikit demi sedikit tradisi tersebut. Sebagaimana visi dan misi dari risalah kenabian Muhammad yang menyempurnakan akhlak, termasuk akhlak terhadap perempuan. Nabi mengubah tradisi ijbar nikah dengan memberikan hak penuh kepada perempuan untuk memilih pasangan yang dicintainya.
Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah, suatu hari, seorang perempuan bernama Hansa’ binti Khidam Al-Anshariyyah datang kepada Nabi Saw dan mengadukan perihal pernikahannya.
Khidam menikahkan Hansa’ dengan lelaki yang tidak disukainya. Lantas Rasulullah bertanya kepada Hansa’ “Apakah kamu dimintai persetujuan atas pernikahan itu?” Hansa’ menjawab “Aku tidak menyukai pilihan ayahku, Ya Rasulullah,” kemudian Nabi memanggil Khidam dan menasihatinya untuk menyerahkan urusan pernikahan sepenuhnya kepada putrinya, serta menetapkan bahwa pernikahan Hansa’ tidaklah sah jika tanpa persetujuan pihak perempuan.
Hansa’ pun telah meriwayatkan kisahnya itu dalam sebuah hadis:
عَن خَنساءَ بِنتِ خِدامٍ الأنْصاريَّةِ أنَّ أباها زَوَّجَها وهي ثيِّبٌ فكَرِهَت ذلك فجاءت رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فذكرت ذلك له فَرَدَّ نِكاحَها
Nabi Saw juga berpesan kepada Hansa’ untuk menikah dengan lelaki yang ia sukai. Lalu Hansa’ berkata “Wahai Rasulullah, sebenarnya biar saja aku menerima pilihan ayahku, tetapi aku ingin semua perempuan tahu bahwa seorang ayah tidak berhak memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak perempuannya.”
Diperkuat pula dalam hadis riwayat Abdullah bin Abbas dalam Sahih Muslim:
اَلْأَيِّمُ اَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا
“Seorang ayyim lebih berhak kepada dirinya sendiri daripada walinya” (HR. Abdullah bin Abbas)
Rasulullah memilih diksi “al-ayyim” untuk menggambarkan merdekanya seorang perempuan untuk memilih pasangannya. Menurut ahli bahasa, “al-ayyim” bermakna perempuan yang tidak memiliki suami, baik masih perawan atau janda.
Rasulullah Saw berhasil mengubah secara drastis kebiasaan masyarakat Arab, termasuk urusan pernikahan, dari poligami menuju monogami, dan dari nikah ijbar menjadi pernikahan yang membebaskan. Dan hal ini dipraktikkan oleh Nabi Saw ketika akan menikahkan putrinya.
Dalam Musnad Ibnu Hanbal dikisahkan, Rasulullah bertanya kepada putrinya “Sesungguhnya si fulan menyebut-nyebut namamu.” Kemudian Rasulullah melihat reaksi putrinya. Jika diam, maka pertanda setuju dan pernikahan segera dilaksanakan. Namun, jika putrinya menutup tirai dari kamar, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa ia tidak berkenan, dan Rasulullah tidak akan memaksakan putrinya untuk menikah.
Rasulullah Saw, yang hidup pada abad ke-7 Masehi sudah melakukan gerakan yang progresif dalam urusan pernikahan dengan membebaskan perempuan untuk menentukan pilihannya, yang pada saat itu konteksnya adalah perempuan gadis, terlebih seorang janda. Maka tidak ada lagi alasan bagi seorang wali yang menyelewengkan hak ijbar-nya dalam menikahkan anak perempuannya.
Wali memiliki makna pengayom, pelindung, kekasih, orang yang menyayangi. Jika statusnya sebagai wali nikah, maka wali tersebut bertanggung jawab penuh untuk melindungi, mengayomi, mengasihi, dan menyayangi orang yang dalam naungannya. Jika menjadi wali nikah lalu memaksakan kehendaknya dengan menikahkan anak perempuannya kepada orang yang tidak disukai atau bahkan tidak merestui pilihan anaknya, maka secara hakikat, ia gagal menjadi seorang wali nikah.
Munculnya hak ijbar dalam diskursus fikih pernikahan adalah atas dasar pernikahan Sayyidah Aisyah dengan Rasulullah. Pada waktu itu, Sayyidina Abu Bakar menikahkan Sayyidah Aisyah yang masih berusia enam tahun dengan Nabi. Yang mana pada usia tersebut, yang menanggung segala kehidupan anak adalah seorang ayah. Kita sedang tidak membahas mengapa Sayyidah Aisyah dinikah usia enam tahun, karena justru di sepanjang usia itulah, Sayyidah Aisyah berkesempatan untuk bertaklim kepada Rasulullah hingga menjadi seorang ulama perempuan ahli tafsir.
Atas riwayat ini, lalu Imam Syafi’i menguatkan bahwa seorang ayah berhak menikahkan anak perempuannya di bawah usia 15 tahun atau belum keluar haid dengan syarat tidak boleh merugikan anak (tidak adanya eksploitasi anak). Mafhumnya, jika anak perempuan berada pada usia di atas 15 tahun atau sudah haid maka tetap kepada ketentuan yang telah disampaikan oleh Nabi bahwa pernikahan harus dengan persetujuan calon istri (anak perempuan) dengan tanpa meniggalkan unsur “maslahat/tidak merugikan/tidak ada eksploitasi.”
Makna ijbar dalam kisah tersebut adalah “Tidak ada yang berhak menikahkan seorang anak gadis (yang belum balig) dengan tujuan maslahat tanpa eksploitasi selain walinya yakni ayah atau kakek dari ayah.” Wallahu a’lam bil al shawab.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.