Oleh: Sofhal Adnan (Editor in Chief Ikhbar.com)
IDULFITRI memang menggembirakan, tetapi bagi sebagian orang, hari kemenangan itu bisa jadi malah menjelma teror yang menakutkan.
Kekhawatiran itu, sudah barang tentu bukan dilahirkan oleh Lebaran sebagai tradisi keagamaan yang kaya hikmah. Akan tetapi, “fobia” tersebut muncul dari sikap kita, para pelaku agama yang justru sama sekali tidak mencerminkan keadilan sebagai roh utama ajaran Islam.
Ambil misal, Lebaran sebagai momentum berkumpulnya keluarga besar tidak jarang menjadi panggung membanding-bandingkan keberhasilan seseorang. Jika dikemas dengan tampilan tahadduts bin ni’mat (menceritakan nikmat dalam rangka syukur) tentu tak apa dan barangkali memang berpahala. Akan tetapi, jika hal tersebut muncul dalam rangka saling sombong atau bersifat menekan individu lainnya, justru hal itu jauh dari anjuran agama.
Celakanya, disadari atau tidak, banyak pula muncul cerita dalam tradisi yang tujuan utamanya temu kangen itu, malah membiasakan keluarga saudara yang kurang mampu mendapatkan penyikapan yang berbeda. Biasanya, mereka berada di dapur, dengan energi yang lebih besar mereka harus melayani keluarga kakak atau adiknya yang tampak dengan status sosial yang lebih mentereng.
Itu masih mending. Di beberapa kasus, keluarga saudara yang kurang beruntung itu ada juga yang didiamkan, dicueki, atau bahkan tidak diundang. Sikap-sikap ini sungguh amat jauh dari cita-cita Islam dalam memandang seluruh manusia dengan prinsip kesetaraan. Sebab, sesungguhnya tidak ada yang lebih baik di mata Allah Swt, kecuali perihal ketakwaan.
Teguran membeda-bedakan
Suatu waktu, Rasulullah Muhammad Saw sedang berdakwah di hadapan pemuka Quraisy. Mereka terdiri dari Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahl bin Hisyam, Al-‘Abbas bin Abdul Muththalib, Umayyah bin Khalaf, dan Al-Walid bin Al-Mughirah.
Nabi Muhammad Saw memang sedang berharap para pembesar Quraisy segera tertarik dan masuk Islam. Di tengah dakwahnya itu, datanglah sahabat penyandang disabilitas (tunanetra) bernama Abdullah bin Ummi Maktum dengan melemparkan pertanyaan, “Berilah aku petunjuk, wahai Rasulullah.”
Pertanyaan Abdullah itu disampaikannya berulang-ulang. Meski demikian, Rasulullah seolah tak menggubrisnya.
Atas kejadian itu, Rasulullah Saw pun lantas mendapat teguran dari Allah Swt melalui QS. Abasa ayat 1-11:
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰٓ عبس. أَن جَآءَهُ الْأَعْمَىٰ. وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُۥ يَزَّكَّىٰٓ. أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ الذِّكْرَىٰٓ. أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ. فَأَنتَ لَهُۥ تَصَدَّىٰ. وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ. وَأَمَّا مَن جَآءَكَ يَسْعَىٰ. وَهُوَ يَخْشَىٰ. فَأَنتَ عَنْهُ تَلَهَّىٰ. كَلَّآ إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ.
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.”
Menurut Al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an menyebut, meski dengan penglihatan yang bermasalah, namun, Abdullah bin Ummi Maktum dianugerahi indra pendengar dan perasa yang sangat tajam. Sehingga ia dapat merasakan kekecewaan atas sikap Nabi yang kurang berkenan dengan kehadirannya.
Merasa diabaikan Nabi, Abdullah bin Ummi Maktum berkata, “Sesungguhnya aku adalah orang rendahan, sedangkan mereka adalah para pembesar Quraisy. Pantas saja Nabi memalingkan diri dan memilih menghadap kepada pembesar Quraisy dan berkata pada mereka.”
Mendengar suara hati seorang Abdullah bin Ummi Maktum, maka turunlah ayat tersebut sebagai i’tab (bentuk teguran) dan tadzkir (pengingat) kepada sang Nabi.
Terutama disabilitas
Ayat tersebut mengamanatkan tentang keharusan untuk menjunjung tinggi derajat semua orang, terutama penyandang disabilitas. Meskipun mereka tidak tahu atas apa yang sedang terjadi kepadanya, akan tetapi Allah tahu dan mengapreasiasi keseriusan yang ada pada dirinya terlepas dari kekurangan fisik yang dimilikinya.
Pada dasarnya Al-Qur’an telah menyebut beberapa term yang merujuk makna disabilitas. Term-term yang digunakan oleh Al-Qur’an guna merujuk arti disabilitas dapat dikategorisasikan kedalam dua jenis, yakni disabilitas fisik, yaitu orang cacat yang memiliki kelainan indra atau salah satu bagian tubuhnya, dan disabilitas non-fisik, yakni orang yang cacat mental dan teologinya.
Dikutip dari al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, Syekh Muhammad Fu’ad Abd Al-Baqi menyebutkan bahwa makna disabilitas secara fisik menggunakan beberapa istilah seperti as-shumm (tuli), al-bukm (bisu), al-‘umy (buta), dan al-a’raj (pincang).
Masih dari sumber yang sama, kata as-shumm secara etimologi menerangkan rusaknya atau berkurangnya fungsi
daripada indra pendengar. Sehingga seseorang tersebut tidak mampu
untuk mendengar suara (tuli).
Selanjutnya, Syekh Fu’ad menyebutkan bahwa kata as-shumm dengan segala bentuk derivasinya diulang sebanyak 15 kali yang terdapat dalam 14 ayat di 13 surat makiyah dan madaniyah. Sedangkan lafaz al-bukm disebut sebanyak enam kali, terdapat dalam enam ayat di lima surat makkiyah dan madaniyah.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa penyebutan kata as-shumm (tuli) seringkali diiringi dengan kata al-bukm (bisu) menunjukkan ada keterkaitan erat antara penyandang bisu dan tuli. Lafaz-lafaz tersebut diulang sebanyak tiga kali, yakni dalam QS. Al-Baqarah ayat 18 dan 171, kemudian pada QS. Al-An’am ayat 39.
Sementara itu, Kata al-‘umy/’umyun memiliki makna berkurang atau hilangnya indra penglihatan seseorang. Sehingga kemampuan melihatnya terbatas atau bahkan tidak bisa sama sekali yang biasa kita sebut buta.
Lafaz ‘umyun dengan segala derivasinya diulang sebanyak 33 kali, tersebar dalam 30 ayat di 21 surah yang berbeda baik surah makiyah ataupun madaniyah. Di antaranya terdapat pada QS. ‘Abasa ayat 2, QS. An-Nur ayat 61, dan QS. Al-Fath ayat 17.
Sedangkan menurut pakar tafsif Al-Qur’an Indonesia, Prof. Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata al-a’raj adalah kelainan fisik begitu juga kesehatan seseorang sehingga tidak bisa berjalan (cacat/pincang). Penggunaan term ini diulang di dua tempat dalam al-Qur’an yakni di QS. An-Nur ayat 61 dan QS. Al-Fath ayat 17. Kedua surah ini digolongkan sebagai surah madaniyah.
Dalam konteks ini, Prof Quraish menjelaskan bahwa penggunaan istilah a’raj oleh Al-Qur’an dihubungkan dalam masalah peperangan, yakni orang yang pincang atau orang yang memiliki hambatan secara fisik. Sehingga diperbolehkan untuk tidak ikut berjihad.
Selain merujuk pada istilah cacat secara fisik, pengarang Tafsir Al-Mishbah itu menyebutkan bahwa Al-Qur’an ternyata juga mengaplikasikan istilah yang senada untuk merujuk arti “cacat” secara non-fisik sebagai bentuk majas (kiasan). Misalnya, Al-Qur’an menyebut kaum yang enggan dan berpaling dari peringatan Tuhan dengan sebutan a’maa. Penyebutan tersebut terdapat dalam QS. Thaha:124. Kata al-a’maa dan al-ashamm juga digunakan untuk menggambarkan orang-orang kafir. Hal itu seperti yang diabadikan dalam QS. Hud:24.
Selain kisah Rasulullah Saw yang ditegur melalui surat ‘Abasa, terdapat juga penghargaan Allah terhadap kaum disabilitas yang tertuang dalam QS An-Nur:61 dan QS Al-Fath: 17. Begitu, cara Allah menganjurkan kita agar menjunjung tinggi penghormatan dengan prinsip kesetaraan. Salah satunya, lewat banyak ayat yang bersifat inklusi di dalam Al-Qur’an.