Oleh: KH Sobih Adnan (Mudir Aam Ikhbar Foundation)
NABI Ibrahim mengukur diri. Betapa ia yang hanya manusia, tak mungkin mampu menyeru luar biasa lantang agar didengar sekalian alam. Kepada Allah Swt, lantas ia bertanya, “Bagaimana makhluk yang serbaterbatas ini mampu menyerukan panggilan haji ke seluruh penjuru negeri, ke pendengaran makhluk hidup, maupun mati?”
وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dan segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27).
Allah swt tetap pada perintah-Nya. Dia memberi garansi kepada Ibrahim untuk sekadar menyerukan panggilan, sementara yang langsung mengetuk dan menyampaikan ke setiap hati hamba-Nya, ialah kuasa-Nya.
Ath-Thabari menceritakan, saat Nabi Ibrahim As menyampaikan seruan itu, ia menghadap tepat ke negeri Yaman. Dari arah itulah lantas terdengar semacam jawaban, “Labbaik Allahumma labbaik…!” yang berasal dari bebatuan, pohon, bukit-bukit, bahkan debu, atau apa saja yang mendengar panggilan itu.
Baca: Kisah Pesaing Ka’bah
Itulah haji. Panggilan suci yang ternyata tak cuma dibukakan jalannya hanya untuk si kaya. Seruan mulia itu menyasar pada siapa saja yang Allah kehendaki, bahkan bagi “mereka yang hanya bisa mengendarai unta-unta yang kurus.”
Haji pun bukan perkara masa tunggu. Tuhan yang Mahabisa, akan dengan gampang menghadirkan setiap orang yang barangkali di benaknya tersirat, “Tak disangka, tiba-tiba sampai di Mekkah.”
Begitulah haji. Ali Syariati bilang, prosesi ini berfungsi mengubah kepekaan hati. Sementara jalannya adalah dengan merawat cita-cita untuk terus menghamba kepada Tuhan; tanpa batasan.[]