Ikhbar.com: Hasil penelitian di Charles University, Republik Ceko menyebut Indonesia merupakan negara kedua penghasil karya ilmiah terindikasi predator yang terindeks Scopus selama periode 2015-2017. Angkanya tidak main-main, yakni sebesar 17% atau sebanding 1 dari setiap 6 artikel yang terbit.
Peneliti Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Amin Mudzakkir mengungkapkan, hal itu hanyalah sedikit dari banyaknya permasalahan dalam dunia penelitian di Indonesia.
“Ada juga soal penganggaran, terutama pada penelitian di bidang sosial dan humaniora. Hingga saat ini, masih jarang sekali adanya filantropi yang mendukung proses penelitian tersebut,” ungkap Amin, saat menjadi pembicara dalam Workshop Penulisan Artikel Jurnal Internasional yang diselenggarakan Ikhbar.com bersama Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Buntet Pesantren Cirebon, Sabtu, 28 Januari 2023.
Amin mengatakan, masyarakat sipil, terutama di kelas menengah tidak mempunyai kemampuan dan kebutuhan yang kuat dalam pembiayaan riset sosial-humaniora. Akibatnya, riset di bidang tersebut yang berorientasi kritis pun menempati posisi pinggiran.
“Ada memang pendanaan riset, tapi lebih tepatnya survei. Apalagi di tahun politik, survei elektoral banyak yang membutuhkan,” kata dia.
Menurut Amin, jika pun ada pendana dengan mengatasnamakan filantropi yang turut mendorong dilakukannya riset sosial-humaniora, kemungkinan hanya untuk tema-tema yang mendukung keberlanjutan kepentingan mereka. “Ujung-ujungnya kembali mengharapkan kucuran anggaran dari negara. Itu pun sama, bisa mengurangi nilai kritis dan kebebasan dalam melaksanakan proses penelitian.
Di sisi lain, lanjut dia, seperti halnya kecenderungan pada negara-negara post-kolonial, tradisi riset dan pengajaran di Indonesia mengalami pemisahan.”Di sisi lain, di universitas, porsi untuk riset masih jauh di bawah porsi untuk pengajaran,” jelas Amin.
Amin juga menyayangkan atas gagasan negara untuk mendorong jumlah publikasi perguruan tinggi di jurnal internasional bereputasi, tetapi seolah meninggalkan pentingnya basis edukasi dan pendalaman kualitas dalam proses-proses tersebut.
“Akibatnya, yang muncul hanya soal angka dan jumlah. Bahkan, para peneliti dari kalangan akademik tidak bisa memahami proses, hanya berorientasi pada penerbitan tanpa mempedulikan kualitas dan dampak positif dari hasil penelitan tersebut untuk masyarakat,” kata Amin.