Ikhbar.com: Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Savic Ali, menegaskan bahwa Forum Agama G20 atau Religion of Twenty (R20) memperluas peran PBNU dalam mengatasi problem dan konflik di tingkat global.
Savic Ali menjelaskan, NU sejak didirikan memang memiliki visi internasional. Sebagaimana Indonesia dalam Proklamasi Kemerdekaannya menegaskan visi membentuk perdamaian dunia, NU juga memiliki visi ke arah sana.
Dalam konteks geopolitik global, lanjut Savic, pendirian NU bukan semata reaksi atas kekuasaan Ibnu Saud di Hijaz. Menurut Ketua Umum PBNU, K.H. Yahya Cholil Staquf, NU sebetulnya lahir karena kekosongan peran politik dan keagamaan akibat runtuhnya Turki Utsmani.
“Selama ini umum diyakini pendirian NU karena penguasaan Ibnu Saud atas Haramain (Makkah dan Madinah). Gus Yahya menarik benang merah historis lebih jauh bahwa pendirian NU berkaitan dengan keruntuhan Turki Utsmani, bukan hanya karena perubahan di Haramain. Sebab, runtuhnya Turki Utsmani menciptakan kevakuman politik dan keagamaan,” kata Savic di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa, (18/10/2022).
Baca juga: Pasca Gelar Upgrading II, PC IPNU Kabupaten Cirebon Siap Songsong Kegiatan Akhir Tahun
Ketika Turki Utsmani runtuh, kata Savic, negara-negara di Timur Tengah mendirikan kerajaan. Hal itu berbeda dengan Indonesia yang memilih tidak mendirikan kerajaan serupa dengan berdasar agama, tetapi memilih mendirikan negara baru bersama warga lain sehingga lahir negara berbentuk republik.
Savic menjelaskan, perjuangan internasional itu terus dimainkan oleh NU melalui proses panjang penuh dinamika. Pada era Reformasi, NU di masa kepemimpinan K.H. Hasyim Muzadi (1999-2010) menggelar International Conference of Islamic Scholar (ICIS). Sementara di periode kepemimpinan K.H. Said Aqil Siroj (2010-2021), NU menggelar International Summit of the Moderate Islamic Leaders (ISOMIL).
Selain itu, ujar Savic, PBNU juga mengundang tokoh-tokoh agama dan politik Afganistan pada 2011. Bahkan, tokoh-tokoh NU juga diundang ke sana untuk mendorong perdamaian di negeri tersebut.
“Itu bagian dari ikhtiar PBNU untuk ikut berperan paling tidak di negara-negara mayoritas Muslim. Buat apa kita mengklaim diri organisasi Muslim terbesar di dunia, tetapi tidak menciptakan perdamaian di negara Muslim?,” imbuhnya.
Di era Gus Yahya ini, kata Savic, jangkauan upaya mewujudkan perdamaian itu diperluas; tidak hanya kepada Muslim, tetapi juga dengan pemeluk agama lain. Gus Yahya telah melakukan komunikasi dengan para pemuka agama dunia sejak lama.
“Forum R20 diinisiasi Gus Yahya agar agama dan pemimpin agama lebih proaktif membantu persoalan dunia; mulai dari konflik antar-pemeluk agama, penyalahgunaan politik identitas, rasialisme, dan persoalan lain. Harus kita akui, agama ikut berperan dalam sejumlah konflik di berbagai belahan dunia,” katanya.
Baca juga: Download Kitab Tafsir As-Sya’rawi PDF Gratis
Sebab harus diakui, lanjut Savic, ada kelompok Islam yang membenarkan aksi teror. Di India dan Myanmar, Muslim dipersekusi kelompok mayoritas Hindu dan Buddha. Di Amerika Serikat juga muncul sejumlah persekusi yang berbasis ras. Sementara di Eropa juga terdapat Islamofobia. Di sejumlah tempat, ada politik identitas agama untuk membenci yang lain.
“Makanya, R20 mengajak pemimpin agama dan negara benar-benar berpikir bagaimana agama berperan aktif untuk memecah problem yang menghantui dunia,” tuturnya.
Karena itu, ujar Savic, Gus Yahya menginisiasi R20 untuk memperkuat kerja-kerja sebelumnya ketika menjadi Katib ‘Aam PBNU. Ia telah lama membangun hubungan agama dan politik dunia.
“Ini momentum NU, sebagai organisasi keagamaan dengan jumlah anggota terbesar, agar bisa meningkatkan peran internasionalnya, bisa meningkatkan kehadirannya dalam konteks mengatasi persoalan dunia,” ucap Savic.
Langkah Gus Yahya ini, kata Savic, merupakan upaya untuk menghidupkan kembali apa yang sudah dirintis oleh Ketua Umum PBNU 1984-1999, K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sebab, diakui atau tidak, peran NU di tingkat global belum begitu konkret.
R20 adalah permulaan dari forum-forum berikutnya yang mengikuti presidensi G20. Di India pada 2022, di Brazil pada 2023, di Afrika Selatan pada 2024, dan seterusnya. Penyelenggaraan ini, Savic menegaskan, dilandasi semangat untuk mendorong perdamaian dan menciptakan peradaban baru yang lebih baik.
Undangan kepada kelompok-kelompok sayap kanan memang mesti dilayangkan. Sebab, siapapun yang punya masalah dengan Muslim harus diundang dan diajak bicara; baik Cina, India, Amerika Serikat, maupun negara-negara Eropa.
“Jika dialog tidak dibuka, maka tidak ada kemajuan. Yang ada konflik terus. Kita butuh percakapan itu sehingga bisa saling menyadari perspektif masing-masing,” pungkas Savic.