Ikhbar.com: Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Poespita Candra menyebut kebiasaan pamer menunjukkan perasaan jiwa sedang tidak dalam baik-baik saja.
“Orang yang senang hidup bermewah-mewahan menganut hedonisme, yaitu hidup mengejar pleasure atau kesenangan. Hedonisme ini muncul karena biasanya ingin mengurangi rasa sakit (pain) dalam jiwanya misal rasa kelelahan jiwa, kehilangan makna hidup, rasa bersalah, dan lain-lain yang muncul,” kata Novi, dikutip dari Antara, Jumat, 3 Maret 2023.
Menurut dia, kebiasaan hidup bermewah-mewahan yang biasa dipamerkan ke hadapan banyak orang melalui berbagai platform media sosial pribadi, akan semakin melekat ketika menemukan lingkungan yang sesuai.
“Jadi selain gaya hidup karena cara berpikir, maka lingkungan dia yang sama membuat perilaku hedonisme ini semakin menguat. Dalam teori behavioristik, adanya reinforcement positif dari lingkungan akan memperkuat sebuah perilaku,” ucap dia.
Untuk membenahi hal tersebut, terdapat empat hormon yang harus dihidupkan agar mendapatkan jiwa yang bahagia dalam kehidupan sehari-hari, antara lain dopamine yang bertujuan meneruskan langkah positif untuk meraih pencapaian yang diimpikan dalam kehidupan.
Selanjutnya, hormon yang dapat membuat orang lebih bahagia adalah oksitosin yang berguna untuk menghadirkan rasa cinta, kasih sayang, empatik dan juga rasa penerimaan yang tulus.
Lalu, terdapat pula hormon serotonin yang akan menghidupkan rasa bermakna dan bermanfaat bagi orang lain seperti kegiatan sosial, voluntary dan lain sebagainya. Untuk melengkapinya, seseorang juga butuh dengan hormon endorphin atau sebuah kegembiraan yang lepas.
“Nah, jika ada yang kurang dari yang di atas, maka tidak tercipta kebahagiaan. Maka ia akan sakit jiwanya dan mereka harus mengejar kesenangan dengan hedonisme, yang sering orang awam sebut kebahagiaan semu,” ucap dia.
Tidak hanya masyarakat biasa, hormon-hormon tersebut juga perlu dihidupkan bagi seorang pejabat yang kini sedang menjadi sorotan dengan berbagai kehidupan mewah yang sering mereka tampilkan ke hadapan publik melalui platform media sosial pribadi mereka.
Hal itu sangat disayangkan oleh Novi, ketika ada pejabat yang dengan sengaja menampilkan kehidupan mewah karena pelayan publik justru harus mencerminkan kondisi masyarakat yang saat ini tengah berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
“Saya kira pejabat harus jadi pemimpin. Pemimpin berarti hidup dengan gagasannya dan tindakannya yang menginspirasi. Otomatis kalau value hidupnya ini, maka mereka akan tidak bersandar pada kehidupan materialistis,” jelas dia.
Novi pun menambahkan bahwa kehadiran para pejabat untuk terjun dan berkomunikasi ke kalangan masyarakat justru akan menimbulkan kepercayaan yang tinggi pada instansi yang mereka pimpin.