Ikhbar.com: Menurut Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, MA, Attarikhi dalam Pendekatan Ma’na Cum Maghza bukan sekadar maknanya, tetapi juga perhatikan rasa bahasanya.
“Saya pernah menawarkan penafsiran ayat perang QS Al Hajj ayat 39-40. Pada ayat tersebut saya mencoba untuk menggali pesan damai dalam perang,” katanya saat mengisi acara Public Lecture tentang Pendekatan Ma’na Cum Maghza dalam Penafsiran Alquran di IAIN Cirebon pada Jumat, (2/12/2022).
اُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِاَنَّهُمْ ظُلِمُوْاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌ
Pertanyaanya, kata Prof. Sahiron, kata ‘Udzina’ yang diartikan “Diizinkan berperang’, kenapa menggunakan Mabni Majhul?
“Yang mengizinkan perang dan mempertahankan Madinah dari kaum musyrik saat itu Allah. Kok kenapa tidak menggunakan kata ‘Adzina‘?,” terangnya.
Menurutnya, di dalam Mabni Majhul setidaknya terdapat dua fungsi, yakni yang pertama karena pelakunya tidak diketahui, yang kedua, Failnya diketahui tapi tak pantas disebut.
“Allah tidak ingin disebutkan secara eksplisit dalam perintah perang. Itulah Ma’na Attarikhi,” ujar Prof. Sahiron.
Ia menjelaskan, jika di dalam Alquran tidak menyebutkan Maghza, maka ayat tersebut harus digali.
“Contohnya seperti dalam QS. Al Maidah ayat 51. Pada ayat tersebut Maghzanya ada, tapi tidak disebutkan, Maka saya pandang ayat tersebut Mutasyabihat,” jelasnya.
“Dulu sempat ramai tuh ayat ini, apakah terjemahannya ‘Pemimpin’ atau ‘Teman setia’?,” katanya.
Mengapa demikian? lanjut dia, karena secara makna langsungnya ayat tersebut bertentangan dengan ayat Wamaa Arsalnaka illa Rahmatan lil Aalamin.
“Sejarah QS. Al Maidah ayat 51 ini bercerita tentang penghianatan kelompok Yahudi untuk tidak mempertahankan Madinah,” tegasnya.
Sewaktu peperangan Badar, Prof. Sahiron menjelaskan bahwa kelompok Yahudi datang, meski tidak semuanya, mereka mengatakan kepada Nabi Muhammad ‘Yaa Muhammad, kami tidak mau berperang melawan musyrik Mekah’.
“Lho kan kamu sudah sepakat melalui piagm Madinah?,” kata Prof. Sahiron menjelaskan jawaban Nabi Muhammad kala itu.
“Kami mengerti, tapi kami tidak mau repot,” kata Yahudi itu.
“Ohh ya sudah jika memang tidak mau, kami yang akan mempertahankan bersama sahabat, dan warga Madinah lainnya dari serangan musyrik Mekah,” jawab Nabi.
Kemudian pergilah Yahudi itu ke Damaskus dan bertemu Abu Sufyan pimpinan musyrik Mekah yang saat itu belum masuk Islam.
Prof. Sahiron menjelaskan, melihat Yahudi tersebut, Abu Sufyan hendak membunuhnya.
“Jagan bunuh kami, kami memang betul orang Madinah, tapi kami sudah ngmong sama Nabi tidak ikut berperang,” kata Yahudi itu kepada Abu Sufyan.
“Tapi kamu sudah terikat oleh piagam Madinah, pasti kamu berbohong,” tegas Abu Sufyan.
Orang Yahudi tersebut ternyata membocorkan kekuatan militer Nabi Muhammad. Orang Yahudi tersebut mengatakan kepada Abu Sufyan bahwasannya Nabi akan membawa pasukan sebayak 313 orang.
Mendapat bocoran tersebut, Abu Sufyan lantas berencana memperbanyak pasukannya.
Kabar tentang bocornya kekuatan militer itu kemudian didengar oleh Nabi Muhammad. Lantas, Nabi mengutus Ubadah bin Ash Shamit untuk mencari informasi siapa yang membocorkannya.
Maka Nabi pun akhirnya mengetahui orang Yahudi itulah yang membocorkan kekuatan militernya.
Abdullah Ubay bin Salul mendengar pernyataan Ubadah tersebut dan berkata kepada Nabi, “Saya tidak setuju dengan Ubadah, saya masih menggunakan Yahudi Madinah sebagai pembela,”
Di tengah dilematis tersebut, Nabi akhirnya berdoa untuk diturunkan wahyu. “Siapa yang mau dipilih pendapatnya ini ya Allah,” kata Nabi.
Akhirnya, Nabi pun mendapat jawaban bahwasannya pendapat Ubadahlah yang dipilih.
Dengan demikian, terjemah yang tepat untuk kata ‘Awliya’ pada QS. Al Maidah ayat 51 ini menurut Prof. Sahiron yakni ‘Teman setia’.
“Jika mau ngambil konteks kekinian, maka Maghzanya yang diambil. Apa itu? Konteks ke-Indonesia-an yakni NKRI dan pancasila,” tandasnya.