Ikhbar.com: Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, KH Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah menegaskan, hukum-hukum Islam selalu berada pada setiap perubahan permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam.
“Apa pun perubahan dalam aspek kehidupan kita tidak boleh menjauhkan kita dari nilai-nilai ajaran Baginda Rasulullah Saw yang telah disampaikan kepada para Sahabat, Sahabat-sahabat kepada Tabi’in, hingga ke ulama-ulama kita,” kata Kiai Mutawakkil.
Sehingga, lanjut Kiai Mutawakkil, istilah bid’ah sekarang ini sudah memasuki seluruh aspek kehidupan manusia.
“Oleh karena itu, yang biasa berbicara ‘itu bid’ah, ini bid’ah, oh itu tidak ada pada zaman Rasulullah’, harap berhenti karena akan membuat umat bingung bahkan, bisa membuat bingung dirinya sendiri. Kecuali mereka mau hidup di hutan belantara, sekaligus menggunakan hukum rimba,” ujarnya.
Pesan penting KH M Hasan Mutawakkil Alallah itu disampaikan saat membuka Halaqoh Fiqih dan Ushul Fiqih yang diadakan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, Senin 5 Desember 2022.
Acara tersebut dihadiri oleh Ketua PWNU Jawa Timur KH Marzuki Mustamar dan Wakil Rais KH Hadi bin Muhammad Mahfudz, Katib PWNU KH Romadlon Chotib, dll.
Dalam Halaqoh Fikih dan Ushul Fikih ini, menghadirkan pembicara, antara lain KH Afifuddin Muhajir dari Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, KH Dr Abdul Ghofur Maimoen dari Pesantren Al-Anwar Sarang, dan KH Muhibbun Aman Ali.
Hukum Islam, Problematika Umat dan Perubahan
Menurut Kiai Mutawakkil, yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur itu, hukum-hukum Islam selalu berada pada setiap perubahan permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam.
“Dengan berbagai mode dan argumentasi yang mewarnai cara, proses, atau produk berfikir para ahli dan ulama, termasuk cara berpikir umat. Dan hebatnya lagi, ini merupakan khazanah kita, terutama komunitas pesantren, komunitas Nahdlatul Ulama,” katanya.
Kiai Mutawakkil menjelaskan, Ulama-ulama fikih dari pesantren tidak pernah melewatkan sedikit pun aspek-aspek kehidupan yang menjadi permasalahan umat Islam.
Menurutnya, para ulama memberikan panduan, ketentuan hukum Islam yang aplikatif. Tinggal kita saja mempraktekkan atau mengkiaskan melalui sifat al-waqi’iyayah (berpijak pada kenyataan objektif manusia), sesuai problematika yang berkembang di tengah masyarakat.
Dengan referensi-referensi hukum fikih, baik yang dicaci terkait ketentuan hukum-hukum Islam, baik yang terbangun dengan paradigma teoritis, induksi (thariqatul hanifiyah), empiris, maupun yang dibangun dengan dogmatis, responden, dan metode deduksi (thariqatul mutakallimin).
“Di sinilah, kehebatan ulama-ulama fikih dari pesantren. Mereka hadir dan tidak pernah melewatkan segala permasalahan yang dihadapi umat Islam, baik yang klasik maupun kontemporer,” tuturnya.
“Inilah, realitasnya, mengaplikasikan ajaran-ajaran agama Islam. Apa pun produk perubahan tidak boleh menjauhkan kita dari nilai-nilai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW,” tegas Kiai Mutawakkil.
Kiai Mutawakkil menyebut, hadis yang meriwayatkan Rasulullah Saw: Dari Jabir, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Perumpamaanku dengan umatku ialah bagaikan seorang yang menyalakan api. Akhirnya, laron-laron berterbangan menjatuhkan diri ke dalam api tersebut. Padahal aku telah berusaha menghalaunya. Aku pun telah mencegah kamu semua agar tidak jatuh ke api, tetapi kamu meloloskan diri dari tanganku.” (HR. Muslim no. 2285).
Dalam riwayat lain, dalam kitab Bukhari-Muslim diriwayatkan Abu Hurairah Ra. Rasulullah bersabda, “Saya memegang tali pinggangmu, tapi banyak di antara kalian yang lepas dari genggamanku”.
“Nah, ulama-ulama fikih melalui referensi-referensi fikih yang dibangun dengan dua cara itu, menjawab semua persoalan yang dihadapi oleh umat Islam.
“Nah, dari titik inilah, maka diskusi soal furu’iyah, menjadi menarik dan ter-update. Kenapa? Karena, hubungan antara ketentuan-ketentuan hukum Islam dan fenomena kemanusiaan tidak bisa dipisahkan.
“Dari sisi ini saya melihat, bahwa Halaqoh Fikih dan Ushul Fikih, dalam rangka mendiskusikan dinamika ketetapan hukum menjawab masalah furu’iyah memiliki arti yang amat penting. Di sinilah saya memberikan apresiasi kepada PBNU, kepada PWNU, yang mengadakan kegiatan ini dengan tema-tema sangat aktual,” tutur Kiai Mutawakkil.
Selepas dari kegiatan yang digelar PWNU Jatim hari ini, selanjutnya pada 7 Desember 2022 di pondok pesantren yang sama, digelar Halaqoh Peradaban dengan tema Fikih Siasyi, Bangsa dan Negara” yang diadakan PBNU.
“Inilah arti pentingnya, untuk menguatkan kehadiran ketentuan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat Islam ala Ahlissunnah waljamaah an-Nahdliyah,” kata Kiai Mutawakkil.
Ia mengingatkan, saat ini banyak yang mengemaskan fikih tapi prosesnya tidak dengan proses yang telah dilakukan ulama-ulama pesantren. Tidak salam metode dan model yang dihasilkan ulama fikih Ahlussunnah waljamaah, terutama mereka adalah kelompok-kelompok Wahabi-Salafi.
Kiai Mutawakkil berharap, para ulama dan kiai pesantren yang menjihadkan waktu, tenaga dan pikiran, dan terus menggali produk hukum Islam, dalam halaqoh tersebut, seperti yang difirmankan Allah Ta’ala.
Ia pun mengutip firman Allah Swt: Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin-nāsi tamurụna bil-ma'rụfi wa tan-hauna 'anil-mungkari wa tu
minụna billāh. “Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” Al-Quran surat Ali Imran ayat 110).
Kiai Mutawakkil mengajak para santri dan kiai, untuk berjihad, untuk li-i’lai kalimatillah, untuk mempertahankan dan mengamankan, dan membumikan hukum-hukum Allah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kiai Mutawakkil menutup dengan pantun:
Tahu campur dibumbui terasi, Elvi Sukaesih mobilnya Mercy
NU Jawa Timur selalu berkonsolidasi, menata organisasi dengan para kiai.
“Di sana gunung di sini gunung, menanam mangga dan pepaya prospeknya cerah.
Di sana bingung di sini bingung, jadi tidak bingung setelah bertemu para peserta halaqoh”.
Putra KH Hasan Saifourridzal ini mengakhiri dengan untaian selawat: Robbi fanfa’nâ bibarkatihim, Wahdinâl husnâ bi hurmatihim. (Wahai Robbi maka berilah kami manfaat dengan keberkatan mereka, Dan tunjukkanlah kami kepada kemuliaan demi kehormatan mereka).