Ikhbar.com: Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa almarhum KH Abdurrahman Wahid atau yang masyhur disapa Gus Dur adalah seorang waliyullah. Kewalian itu dibuktikan dengan kompleksitas peran dan jasa Gus Dur dalam berbagai bidang.
Gus Yahya menyebut Gus Dur sebagai tokoh yang luar biasa kompleks. Gus Dur merupakan seorang politisi, intelektual, kiai, budayawan, dan lain sebagainya.
“Di NU, kalau ada tokoh besar dengan legasi atau warisan yang kompleks dan beragam, bahkan raksasa, itu biasanya lalu secara gampang saja dipercaya sebagai waliyullah,” kata Gus Yahya, dalam Peringatan Haul Ke-13 Gus Dur, di Ciganjur, Sabtu, 17 Desember 2022, malam.
Bukan hanya Wali Songo, lanjut Gus Yahya, banyak kiai NU yang diyakini sebagai wali karena memiliki warisan besar yang dianggap berskala peradaban. Tokoh-tokoh yang dimaksud di antaranya Syaikhona KH Mohammad Kholil Bangkalan, Hadaratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, dan KH Abdul Wahab Chasbullah. Termasuk pula KH Abdul Hamid Pasuruan, Kiai Ali Maksum Krapyak, dan lain sebagainya.
“Saya masih ingat waktu masih remaja, saat itu rasanya sulit sekali mencari kiai yang bukan wali. Tengok kanan, tengok kiri, kiai kok wali semua. Nah, sekarang bergerak ke zaman ini, saya tengok kanan, tengok kiri, kok susah nyari kiai yang wali. Entah kenapa?” kata Gus Yahya disambut gelak tawa jemaah.
Menurut Gus Yahya, bukti kewalian Gus Dur bisa ditengok dari dua sisi.
“Saya pribadi, hakulyakin bahwa Gus Dur itu waliyullah. Karena dua alasan. Pertama, karena alasan pribadi dan kedua alasan sosiologis,” ungkap dia.
Juru Bicara Gus Dur saat menjadi Presiden RI itu menceritakan, pada tahun 2000, dia sempat berbincang dengan Gus Dur mengenai hal tersebut. “Kita tahu, Gus Dur, keluar dari istana langsung menuju ke Amerika Serikat untuk berobat di Rumah Sakit Johns Hopkins. Ketika beliau kembali ke Indonesia, pagi-pagi sekali, saya menyambut beliau di rumah sini. Belum ada orang lain yang datang. Jadi saya hanya berdua dengan Gus Dur. Setelah mengobrol sebentar, lalu Gus Dur mengajak ke kamar dan meminta saya membantu beliau berganti pakaian,” kisah Gus Yahya.
Setelah di kamar, Gus Yahya mengaku bilang bahwa kelak Gus Dur menjadi wali ke-10 setelah urutan Wali Songo. “Saya sendiri sudah lupa apa konteksnya waktu itu, yang saya ingat betul saya nyeletuk kepada Gus Dur, ‘Pak Dur, mungkin sesudah ini Anda jadi wali nomor 10. Kok bisa? Kata Gus Dur. Saya jawab, ‘Orang-orang jemaah yang ziarah ke Wali Songo itu tentunya ingin sowan ke Gus Dur sehingga Anda jadi wali ke 10.’ Gus Dur menjawab, ‘Ya, mungkin,” kata Gus Yahya.
Kini, kata Gus Yahya, hal itu jadi kenyataan. “Sekarang ini Gus Dur sungguh-sungguh masuk dalam rangkaian resmi biro travel ziarah Wali Songo untuk mampir ke Tebuireng, ziarah kepada wali ke 10, yakni Sunan Abdurrahman Wahid,” kata dia.
Sementara alasan kedua, yakni faktor sosiologis, kata Gus Yahya, sangat berkaitan dengan tema haul kali ini, yakni ‘Gus Dur dan Pembaharuan NU.’ “Yang paling mencolok dan monumental dari karya pembaharuan Gus Dur di dalam NU adalah bagaimana Gus Dur mentransformasikan pola pikir dari orang-orang NU hampir secara keseluruhan. Saya sendiri dari generasi yang merasakan betul bagaimana pola pikir saya berubah karena mengenal Gus Dur,” katanya.
Gus Dur berkutat dengan sangat keras untuk membongkar berbagai macam mindset, model-model institusional, maupun aktivisme lama. Gus Dur yakin betul bahwa pola pikir itu tidak akan membawa atau mendorong NU kepada perkembangan yang lebih konstruktif di masa depan.
“Secara rasional dan obyektif, saya melihat tawaran Gus Dur tentang masa depan NU, khususnya, dan masa depan Islam, lebih masuk akal dari pada tawaran lain yang cenderung radikal, fundamentalis, dan ekstrem,” kata Gus Yahya.
Di era 1970 hingga 1980-an, Gus Yahya menyebut generasi Islam sedang merasakan tekanan secara kultural, politik, dan ekonomi. “Di Indonesia, secara domestik, jelas di tengah-tengah konteks Orde Baru, dan juga secara global berhadapan tekanan dari Barat,” ujar dia.
Di masa itu, lanjut Gus Yahya, mulai gerakan-gerakan radikal mulai bermunculan. Mereka bertekad melawan habis segala tekanan itu dengan risiko dan pengorbanan apapun, termasuk dengan mengorbankan nyawa.
“Tetapi Gus Dur membawa tawaran baru, yaitu bahwa tidak ada cara yang lebih baik untuk menolong nasib Islam selain dengan cara menolong kemanusiaan seluruhnya. Dan apabila kita lihat realitas, peradaban di mana kita hidup saat ini, wawasan ini sungguh lebih realistis dari pada jalan yang ditempuh pihak-pihak lain,” terang Gus Yahya.
Oleh sebab itu, kata Gus Yahya, perjuangan Gus Dur itu perlu terus dilestarikan. “Karena masih ada pekerjaan-pekerjaan yang masih harus dilakukan untuk memperjuangkan terwujudnya visi Gus Dur. Kita sekarang memerlukan upaya untuk membangun NU secara keorganisasian untuk bisa menemukan konstruksi organisasi yang koheren. Sehingga dengan demikian, NU akan lebih mampu bergerak sebagai kekuatan strategis yang bisa ikut menentukan nasib, bukan hanya Indonesia, tapi peradaban dunia, insyallah,” jelas dia.