Ikhbar.com: Tren perusahaan yang memasang lowongan kerja (loker) palsu atau “ghost job” di platform daring semakin marak dan memicu keprihatinan di kalangan pencari kerja. Praktik ini dinilai tidak etis dan berdampak buruk pada persepsi para pencari kerja serta kepercayaan terhadap organisasi.
Sebuah survei yang dilakukan ResumeBuilder pada Mei 2024, yang melibatkan 1.641 manajer perekrutan, mengungkap fakta mengejutkan terkait praktik tersebut.
Menurut survei tersebut, sekitar 40% perusahaan diketahui pernah memasang loker palsu sepanjang 2023-2024. Saat ini, tercatat sekitar 3 dari 10 perusahaan masih memiliki loker palsu yang aktif.
Alasan utama di balik strategi ini adalah untuk meredakan kekhawatiran beban kerja karyawan dan menciptakan citra perusahaan yang terlihat tumbuh.
Dari pihak manajemen perekrutan, sebanyak 37% menyatakan ide memasang loker palsu berasal dari bagian sumber daya manusia (HR), sementara 29% lainnya menyebut inisiatif ini datang dari manajemen senior, 25% dari eksekutif, 5% dari investor, dan 4% dari konsultan.
“Hanya sekitar satu persen manajer perekrutan yang tidak mengetahui sumber ide tersebut,” rilis hasil survei tersebut, dikutip pada Kamis, 31 Oktober 2024.
Baca: Pemerintah Bentuk Satgas Pemberantasan Loker Palsu
Hasil survei mengungkapkan, salah satu tujuan memasang loker palsu adalah menciptakan kesan bahwa perusahaan sedang membuka diri terhadap talenta baru (67%), memberikan kesan pertumbuhan perusahaan (66%), dan membuat karyawan merasa beban kerjanya akan berkurang dengan datangnya pekerja baru (63%).
“Selain itu, sebanyak 62 persen perusahaan melakukan ini untuk membuat karyawan merasa posisi mereka dapat dengan mudah digantikan, sementara 59 persen lainnya menggunakan kesempatan ini untuk mengumpulkan resume calon kandidat sebagai cadangan di masa depan,” ungkap ResumeBuilder.
Kepala Penasihat Karier di ResumeBuilder, Stacie Haller menyatakan bahwa perilaku ini menimbulkan keprihatinan, terutama jika datang dari departemen HR yang justru diharapkan mampu menjaga citra positif perusahaan.
“Karyawan berhak mendapatkan transparansi dari perusahaan tempat mereka bekerja, bukannya justru diombang-ambingkan dengan representasi yang menyesatkan. Praktik semacam ini jelas tidak dapat diterima,” ujarnya.
Meski terkesan negatif, sebagian besar manajer perekrutan mengeklaim bahwa loker palsu memberi dampak positif pada pendapatan dan produktivitas perusahaan. Sebanyak 68% manajer mengatakan bahwa pemasangan loker palsu berdampak positif pada pendapatan, sementara 77% merasa produktivitas perusahaan meningkat karenanya. Di sisi lain, 23% menyatakan tidak ada pengaruh, sedangkan 7% mengatakan dampaknya justru negatif.
Baca: Diperberat Syarat BI Checking, Baca Doa Ini saat Melamar Kerja
Di aspek lain, sebanyak 65% manajer perekrutan melaporkan bahwa pemasangan loker palsu ini meningkatkan moral karyawan, sedangkan 21% mengklaim tidak ada pengaruh, dan 12% menyatakan dampaknya negatif.
Dalam hal lamanya waktu loker palsu ini dibiarkan aktif, 6% perusahaan menyimpannya kurang dari satu minggu, 28% selama beberapa minggu, 31% sekitar satu bulan, 19% tiga bulan, 7% selama enam bulan, dan 9% menyimpannya selama satu tahun atau lebih.
“Loker-loker palsu ini dipublikasikan di berbagai platform, dengan 72 persen diunggah di situs perusahaan sendiri, di LinkedIn (70), di Zip Recruiter (58), di Indeed (49), serta di Glassdoor (48),” ungkap Haller.
Terlepas dari kritik yang muncul, survei ini menemukan bahwa 7 dari 10 manajer perekrutan merasa memasang loker palsu adalah hal yang dapat diterima secara moral. Sebanyak 43% menyatakan praktik ini sangat dapat diterima, sedangkan 27% merasa cukup dapat diterima. Namun, 20% lainnya berpandangan sebaliknya dan menganggapnya tidak dapat dibenarkan.
Haller menambahkan bahwa praktik ini, meskipun menguntungkan perusahaan dalam jangka pendek, dapat merusak reputasi perusahaan dalam jangka panjang.
“Perusahaan yang memasang loker palsu tidak hanya mencederai reputasi mereka, tapi juga merusak prospek jangka panjang. Praktik yang menyesatkan akan mengikis kepercayaan dan mengurangi minat kandidat potensial di masa depan,” ungkapnya.
Survei ini dilaksanakan secara daring melalui platform Pollfish pada 22 Mei 2024. Peserta survei terdiri dari manajer perekrutan dengan latar belakang manajerial, berusia di atas 25 tahun, memiliki pendapatan rumah tangga minimal 75.000 dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp1,6 miliar per tahun, serta bekerja di perusahaan dengan minimal 10 karyawan.