Ikhbar.com: Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan agar Israel menahan diri untuk tidak membunuh warga sipil Palestina di Gaza dan menghindarkan diri dari tindakan yang membuktikan pada praktik genosida sebagaimana tuntutan yang diajukan Afrika Selatan. Namun, vonis itu tidak memerintahkan adanya gencatan senjata di Jalur Gaza.
Dalam keputusan yang diambil oleh panel yang terdiri dari 17 hakim internasional tersebut, setidaknya ada enam tindakan yang bertujuan melindungi warga Palestina di Gaza. Langkah-langkah itu pun disetujui oleh mayoritas hakim.
Akan tetapi, hal itu dianggap berbeda bagi Hakim ICJ asal Uganda, Julia Sebuntinde. Dia adalah satu-satunya hakim yang memberikan suara menentang tuntutan tersebut.
Baca: Reaksi Dunia terhadap Vonis Pengadilan Internasional Kasus Genosida Israel di Gaza
Motif politis
Saat mendapatkan kesempatan bicara, Sebutinde dengan begitu tegas menyatakan bahwa konflik Israel-Palestina hanya sebuah perselisihan bermotif politik.
“Oleh karena itu, ini bukanlah suatu sengketa hukum yang dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan,” katanya, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, Senin, 29 Januari 2024.
Dia juga mengatakan bahwa Afrika Selatan tidak mampu menunjukkan bukti atas tuduhannya bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza.
“Afrika Selatan tidak bisa menunjukkan bahwa tindakan Israel tersebut masuk dalam cakupan Konvensi Genosida,” kata Sebutinde.
Menanggapi pandangan itu, sejumlah ahli berpendapat bahwa sebagai seorang hakim, Sebutinde telah gagal melakukan penilaian secara menyeluruh terhadap konflik tersebut.
Asisten profesor di Universitas Fraser Valley yang berfokus pada hukum hak asasi manusia, Mark Kersten menilai, anggapan konflik Israel-Palestina bermotif politik adalah sesuatu yang keliru.
“Melainkan masalah hukum. Sebab, baik Afrika Selatan maupun Israel telah menandatangani Konvensi Genosida pada 1948,” katanya.
Bahkan, kritik serupa juga diungkapkan Duta Besar Uganda untuk PBB, Adonia Ayebare.
“Keputusan Hakim Sebutinde di Mahkamah Internasional tidak mewakili posisi Pemerintah Uganda terhadap situasi di Palestina,” katanya dalam sebuah pernyataan di X.
Baca: Apa Itu Genosida? Pasal Tuntutan atas Kekejaman Israel di Gaza
Siapa Sebuntinde?
Sebuntinde merupakan perempuan pertama dari benua Afrika yang menjadi hakim di ICJ. Sosok yang lahir pada Februari 1954 ini telah menduduki jabatanya di periode kedua sebagai hakim internasional sejak Maret 2021 lalu.
Berdasarkan data Institut Hukum Perempuan Afrika, Sebutinde berasal dari keluarga sederhana. Dia lahir pada masa ketika Uganda berjuang meraih kemerdekaan dari Kolonial Inggris.
Sebutinde mengawali pendidikannya di SD Lake Victoria di Entebbe, Uganda. Setelah itu, dia melanjutkan ke SMA Gayaza, lalu mendapatkan gelar sarjana hukumnya dari Universitas Makerere saat beranjak usia 23 tahun, tepatnya pada 1977.
Pasa 1990, Sebuntinde pergi ke Skotlandia demi meraih gelar master hukum di Universitas Edinburgh. Pada 2009, di universitas yang sama, ia menyabet gelar doktor hukum dengan predikat terbaik.
Sebelum terpilih menjadi anggota majelis ICJ, Sebutinde adalah hakim Pengadilan Khusus di Sierra Leone, Afrika Barat pada 2007.
Baca: Risalah al-Qadha, Kode Etik Hakim era Khalifah Umar bin Khattab
Hakim kontroversial
Persidangan tuntutan genosida Israel bukanlah kasus pertama yang melibatkan pertimbangan Sebuntinde. Ia juga menjadi sosok yang dianggap kontroversial dalam vonis Presiden Liberia, Charles Taylor atas dakwaan kasus kejahatan perang yang dilakukan di Sierra Leone.
Dalam persidangan yang bergulir pada Februari 2011 itu, Sebutinde merupakan satu dari tiga hakim ketua yang bertugas dalam memutuskan vonis.
Pada 8 Februari, pengacara Taylor, Courtenay Griffiths, keluar dari persidangan setelah hakim menolak menerima ringkasan tertulis pembelaan kliennya di akhir persidangan. Pengadilan pun memutuskan bahwa Taylor bersalah atas 11 tuduhan sekaligus, di antaranya dianggap terbukti melakukan kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, terorisme, pembunuhan, pemerkosaan, dan penggunaan tentara anak-anak, hingga dijerat hukuman 50 tahun penjara.
Tindakan Griffiths yang dianggap tidak menghormati pengadilan pun sanksi berupa sidang disipliner. Namun, sidang itu harus ditunda tanpa batas waktu karena Sebutinde menolak hadir dan terlibat dalam sidang etik tersebut.
Nama Sebutinde kemudian jadi perbincangan usai dia mengakui punya pandangan berbeda dengan dua hakim lainnya. Bahkan, ia mengundurkan diri dari jajaran hakim sebagai protes penolakan atas tuntutan terhadap Griffiths untuk meminta maaf kepada pengadilan, yang hal itu dianggap Sebutinde sebagai tindakan yang berlebihan.