Ikhbar.com: Anak muda di Taiwan dan Cina kini beralih ke chatbot berbasis kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT dan Ernie Bot untuk mencari bantuan psikologis, di tengah lonjakan gangguan kesehatan mental, dan terbatasnya akses layanan profesional.
Seorang perempuan 30 tahun di Taiwan, Ann Li, mengaku lebih mudah berbicara dengan AI saat merasa cemas di malam hari.
Sementara itu, Yang (25) dari Guangdong, Cina, yang belum pernah bertemu terapis, menggunakan chatbot karena merasa tak sanggup terbuka kepada keluarga atau teman.
“Bicara jujur kepada orang sungguhan terasa mustahil,” katanya dikutip dari The Guardian, pada Kamis, 22 Mei 2025.
Baca: Mendikdasmen Sebut Generasi Stroberi Sangat Lemah Mental, Siapa Mereka?
Fenomena ini tumbuh seiring mahal dan sulitnya mendapatkan layanan terapi konvensional.
Riset dari Harvard Business Review menunjukkan, bantuan psikologis kini menjadi salah satu alasan utama penggunaan AI oleh orang dewasa. Di media sosial, ribuan orang mengaku terbantu oleh teknologi ini.
“AI bisa diakses kapan saja, terutama dalam budaya yang cenderung menekan emosi,” ujar psikolog klinis dari Taiwan, Dr. Yi-Hsien Su.
Di Taiwan, ChatGPT paling banyak digunakan, sementara di Tiongkok, ketika aplikasi Barat dilarang, pengguna mengandalkan bot lokal seperti Ernie dan DeepSeek. Chatbot ini semakin canggih dan kini mampu menanggapi isu-isu kesejahteraan mental.
Namun, para ahli mengingatkan bahwa meski AI berguna untuk dukungan awal, ia tetap tak bisa menggantikan peran psikolog, terutama dalam situasi krisis.
AI cenderung terlalu optimis, tak peka terhadap isyarat non-verbal, dan tidak tunduk pada kode etik profesi.
“AI hanyalah simulasi. Ia alat yang baik, tapi punya batas. Kita tidak tahu bagaimana kesimpulan itu dihasilkan,” ujar Su.
Baca: Sakit Fisik dan Mental tak Layak Dibeda-bedakan, Kata Penelitian
Asosiasi Psikologi Konseling Taiwan menyebut AI dapat menjadi alat bantu, tapi bukan pengganti tenaga profesional. Struktur inti psikoterapi tetap membutuhkan kehadiran manusia.
Meski demikian, bagi sebagian pengguna seperti Nabi Liu (27), AI terasa seperti teman yang selalu responsif.
“Saat bercerita kepada teman, mereka belum tentu paham. Tapi ChatGPT menanggapi dengan serius setiap kali,” katanya.
Dengan semua kelebihan dan kekurangannya, para ahli sepakat bahwa AI bisa membantu menjembatani kesenjangan awal dalam layanan kesehatan mental, tetapi bukan solusi utama.