Ikhbar.com: Bagi generasi penerus 750.000 warga Palestina yang terusir dari tanah kelahirannya sejak 1948, Nakba bukan sekadar tragedi sejarah. Ia menjadi luka yang terus berdarah di masa kini, dan kekhawatiran akan masa depan.
Memperingati Hari Nakba kedua sejak perang Israel di Gaza meletus pada Oktober 2023, diaspora Palestina, khususnya yang tinggal di Amerika Serikat (AS), mengalami tekanan identitas yang semakin mendalam.
Trauma leluhur berpadu dengan frustrasi sebagai warga negara adidaya yang dianggap turut berkontribusi pada penderitaan bangsanya sendiri.
Salah satu diaspora yang kini menetap di Tepi Barat, Rebhi (28), menyebut dirinya sebagai salah satu dari sedikit warga Palestina-Amerika yang memiliki hawiya (kewarganegaraan Palestina).
Baca: ‘Nakba,’ Bukti 77 Tahun Israel Jajah Palestina
“Saya punya hak kembali secara legal dan bisa benar-benar tinggal di sini,” ujar dia, dikutip dari Middle East Eye, pada Rabu, 21 Mei 2025.
Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang di Gaza, Rebhi tak hanya semakin vokal menyuarakan Palestina, tapi juga meninggalkan kariernya sebagai programmer di perusahaan teknologi Amerika.
Ia kini memimpin sebuah start-up lokal bersama para pengembang di Tepi Barat.
“Kenapa saya harus tinggal di Amerika kalau saya bisa membangun komunitas saya sendiri di Palestina?” tegasnya.
“Tenaga saya di sini punya arti bagi warga Palestina, bukan sekadar membahagiakan bank tempat saya bekerja,” tambah Rebhi.
Rana (26) juga mengalami pergulatan serupa. Keluarganya terpisah sejak Nakba 1948, dan ia meyakini bahwa menjadi orang Palestina adalah ujian sekaligus kehormatan terbesar dalam hidupnya.
“Kembali bukan hanya soal fisik, tapi soal memulihkan apa yang hancur,” katanya.
Kisah serupa datang dari Lillian Abelbaisi (25), cucu dari penyintas Nakba asal desa Qaqun. Ia tumbuh dengan cerita kakeknya yang terluka saat mengungsi dan wafat dengan serpihan peluru masih tertanam di kakinya. Kini, saat menyaksikan Gaza porak-poranda, ia merasa istilah “Nakba” tak lagi cukup.
Baca: Desa Harmoni Palestina-Israel Terancam Bubar
“Tak ada istilah manusiawi yang bisa menggambarkan ini. Ini bukan sekadar ‘bencana‘. Ini kelanjutan dari trauma yang belum pernah benar-benar berakhir,” kata Lillian.
Ketiganya mewakili gelombang kesadaran baru di kalangan generasi muda Palestina di AS, kesadaran untuk kembali, menyambung yang tercerabut, dan menegaskan identitas secara terbuka, meski harus menghadapi risiko sosial maupun profesional.